Monolog
untuk Buku MMKI – Nurel Javissyarqi
Iskandar Noe
Ya, awalnya catatan saya untuk MMKI
bersifat teknis. Yang saya kritisi itu fisiknya kerna yang saya lihat dan
pahami lebih dulu kan sosok fisiknya. Itu mulai dari Cover, Sub-titles,
Pengantar dan Bagian- Bagian. Dan simpulan saya pada catatan waktu itu ya lebih
bersifat umum. Saya juga berpesan pada penulisnya bahwa saya belum selesai
membacanya.
Lantas
ada perubahan catatan?
Nah, Nurel lewat messenger meminta saya
membuat catatan lagi. Memang tidak mudah mencerna MMKI secara keseluruhan. Buku
itu seperti lukisan dengan lapis-lapis (layers) yang tidak dipisahkan.
Membacanya harus jeli juga, bak menatap selembar peta besar dengan berbagai
simbol-simbol disana dan harus dibaca legendanya. Tetapi sebagai pembaca, saya
mencoba dua hal: Pertama mencoba menyelesaikan bacaan dan memahami sejauh
kemampuan saya. Yang kedua, mencoba memberikan catatan seperti yang saya
uraikan sekarang ini. Tentu saja kemudian saya mengirimkannya kepada Nurel,
dengan harapan semoga ini semua ada manfaatnya bagi kita.
Menggiring
ke Wilayah Tanda Tanya. Apa maksudnya?
Ya, itu permintaan untuk catatan yang
saya buat kemudian: Mari kita giring semuanya ke ranah tanda tanya (?) Karena
baru disitu kita bebas memahami totalitas makna teksnya. Seraya saya mengutip
Rendra: Didalam ilmu surat, tak ada juara nomor satu, oleh sebab masih ada
ribuan teks yang tersembunyi atau gampang-gampangan dilewati begitu saja.
Awalnya sebelum pembacaan selesai, saya berpendapat: Ini teks kok arahnya
kemana-mana, terkesan nggladrah. Pendapat
itu sebenarnya justru muncul ketika kurang meneliti gaya bahasa yang digunakan.
Kesan itu muncul pada pihak pembaca, kerna tanpa adanya pembaca, sebuah teks
tak mempunyai pengaruh apa-apa. Ia hanya bayang-bayang yang tak dapat
berbicara. Hubungan teks dan makna tidaklah begitu sederhana. Tidak sesederhana
seperti mengibaratkan kopi didalam cangkir yang dapat dituang begitu saja tanpa
kita menambahkan sesuatu pada isinya. Dalam pengertian ini... [Dan kalau saya
boleh mengutip catatan Sunu Wasono tentang MMKI sebagaimana dikutip oleh Siwi D
Saputro, (i) ] : ..... walau karya ini masih di wilayah abu-abu. Dianggap
Analisa Wacana bukan, dianggap Novel juga bukan. Kalau beberapa subyektivitas
Nurel (tentang penjelajahan dia kemana-mana dalam proses menulis buku itu
dihilangkan) dan diskursus terhadap karya SCB dibangun lebih kuat maka akan
menghasilkan rekomendasi yang mantab. Wilayah abu-abu sebagaimana dikemukakan
oleh Sunu Wasono menurut saya hanya mencerminkan batas ketegasan antara
polarisasi hitam-putih. Bagi saya wilayah itu boleh jadi adalah yang saya
maksudkan sebagai wilayah tanda tanya (?). Semua pernyataan di situ harus
diakhiri dengan tanda tanya. Saya pikir Nurel akan setuju, senada dengan
pengakuannya: ... Sebab tulisan saya bukan jawaban finis, tetapi tetapi serupa
jawaban Jung bersama Freud atau bentuk lain dalam bersikap. Olehnya, rasa
teggang juga sama berkesempatan, tidak menutup ruang bantahan yang terurai
kini. Tentu diterjemahkan sendiri lebih lapang isinya daripada pengelanaan ini.
Maka yang tertanda bisa disebut dugaan awal, yang sudi didialogkan jikalau
hadir sanggahan... (ii) . Menurut saya, jika wilayah tanda tanya itu dibuka
(atau pinjam istilah Nurel: Sudi didialogkan), semua hal didalam MMKI bisa
diteruskan dalam ruang yang lebih bebas.
Mengapa
anda mengatakan di situ ada ruang lebih bebas?
Karena diruang tanda tanya (?) itu saya
sebagai pembaca bisa agak kreatif. Sebagai pembaca kan saya harus memahami
corak teksnya. Saya pikir di ruang itu saya akan mampu merasakan hubungan
pribadi dengan lebih mendalam bagaimana teks itu dituliskan. Beda halnya kalau
saya mengambil jarak dan menentukan kaidah-kaidah sebagaimana catatan saya yang
awal kepada Nurel: Seharusnya bagian itu ya harus begini, harus begitu, editing
itu ya harus begini-begitu. Namun setelah membacanya hingga selesai, teks MMKI
(menurut saya) tidak bisa diperlakukan begitu. Sebuah teks akan menjadi karya,
kalau teks itu bekerja pada diri seseorang. Hal yang saya lupakan waktu itu
adalah bahwa petualangan Nurel tidak berhenti disitu. Serupa itu pula, saya
sebagai pembaca juga berusaha menempatkan diri sepanjang pembacaan teks dalam
posisi petualang yang rela menangguhkan sebentar pandangan sendiri, karena
hanya dengan cara begitu teks akan muncul dan mengatakan sesuatu yang lain
daripada yang kita duga sebelumnya. Maka dalam proses tafsir (Eksegesi: Yunani;
yang berarti: mengeluarkan), adalah sesat jika kita menganggap bahwa “makna”
adalah sejumlah pernyataan yang sifatnya “tetap dan obyektif” dan yang harus
dikeluarkan dalam teks. Pada kenyataannya teks baru akan menjadi hidup kalau
ada pembaca yang mendengarkannya dengan baik.
Anda
ingin mengatakan bahwa penulis dan pembaca harus bekerja sama dengan baik?
Tentu saja: Ya. Sebagai pembaca
(mudah-mudahan pembaca yang baik), saya harus menghormati kata-kata dan
struktur teks bacaan. Sebenarnya teks dan struktur itu benar-benar memerlukan
peranan kita ketika membaca, memahami dan menemukan keterkaitannya. Membaca
lantas bukan pasif. Ia adalah kegiatan batin yang khas: Tindakan memberi makna
pada teks. Pembaca yang berlaku sebagai pembaca adalah sebuah unsur struktural
dalam teks yang hidup dan berbicara. Oleh karena itu pemberian makna pada teks
pun pada gilirannya berpindah dari keadaan yang tersembunyi menjadi subyek yang
berbicara: Apa yang terselubung menjadi aktual. Itulah sebuah penyingkapan,
itulah perwahyuan. Sebuah teks (cerita, syair) hanya dapat berkembang melalui
pembaca yang mampu membacanya dengan baik. Tanggung jawab lebih diberikan
kepada “makna teks” daripada “teks itu sendiri”.
Kalau
begitu, teks bernada Historis-Kritis pada MMKI sudah pada posisinya yang paling
tepat?
Bukan paling tepat, oleh sebab perlu
pemahaman pada lingkup waktu yang tersendiri. Jika kita amati pada kondisi
pembacaan saat ini, kita memberikan makna pada teks yang disusun untuk membahas
teks tentang kisah yang terjadi beberapa tahu silam, meskipun nampaknya kisah
itu sudah pernah beredar dan sudah diketahui sebelumnya. Namun kisah itu tetap
harus dikemukakan dengan jelas. Yang menjadi masalah di sini adalah jika ada
gaya penulisan yang tidak memperhitungkan bahwa kegiatan membaca atau
menafsirkan teks memiliki sumbangan yang sangat berarti dalam hal pemberian
makna. Pendekatan yang saya maksudkan di sini adalah pendekatan yang mau
“memahami” sekumpulan teks (baca: MMKI) dalam lingkup waktunya sendiri. Hal ini
akan mengasumsikan bahwa teks-teks itu datang dalam waktu dan barangkali juga
kultur yang mungkin sudah berbeda. Sebaiknya memang kita tidak meremehkan
perbedaan-perbedaan ini, sekalipun itu barulah separuh dari kenyataan yang
sebenarnya. Kita tidak bisa memutlakkan hal itu karena tanpa kita sadari bisa jadi
telah menyesatkan kita. Kebenaran dasar yang kita pegang adalah keyakinan bahwa
teks-teks itu (baca: MMKI) ditulis dengan baik. Nah, jika kemudian teks-teks
itu beruntung mendapatkan pembaca-pembaca yang baik, maka tidak diperlukan
kategori-kategori: “Meleset”, “sudah lama lewat” ataupun “sangat berbeda”. Maka
sebagai produk dari suatu upaya (iii) perumusan yang teliti, dimana teks-teks
itu sendiri telah disusun sedemikian rupa, teks telah mampu untuk berbicara
bagi dirinya sendiri. Karena teks-teks apapun dapat menyatakan dan menjelaskan
diri dengan baik, asal ada sedikit latihan dari pihak pembaca untuk membacanya
dengan baik.
Dalam
kaitan dengan MMKI, seberapa jauh teks itu hidup?
Teks yang dilahirkan oleh penulis dan
dipublikasikan akan mengalami perjalanan jauh dari asalnya, dan ia tidak akan
bisa diputar kembali. Ia seperti bayi yang baru lahir, dan semenjak tali
pusarnya dipotong, ia mulai perjalanan itu. Ia akan mengarungi waktu, ruang dan
kultur yang jadi tempat hidupnya. Boleh jadi, suatu kali ia akan sampai juga di
tempat yang jauh dari tahun kelahiran dan konteks pemahaman masyarakat yang
berbeda dari tempat ia dilahirkan. Toh apabila suatu kali kepada teks-teks itu
dilakukan dekontekstualisasi, dikeluarkan dari konteksnya (sebuah istilah yang
kurang enak didengar) teks-teks itu masih juga hidup sekalipun penulis,
pendengar dan konteks tempat teks itu lahir sudah tiada. Teks yang baik tentu
sudah dirancang harus bekerja sendirian dan dapat berdiri sendiri. Sudah
dirancang untuk dapat melampaui konteksnya yang asli. Penulis teks tentu tahu
bahwa ia bisa berjalan mengawal teksnya untuk memberikan penjelasan,
menghilangkan salah paham dan hal-hal lain yang melingkupinya. Tetapi di sisi
lain ia harus meninggalkan produknya bahkan secara radikal supaya teks itu
dapat mengurus dirinya sendiri. Dengan ini penulis akan memutuskan untuk
melengkapi teksnya agar teks tetap hidup, melalui sarana-sarana, tanda-tanda
dan nuansa-nuansa yang mampu bertahan dalam perjalanan waktu. Sekali teks-teks
itu dilepaskan, teks-teks itu akan berkelana dalam waktu dan konteks yang
senantiasa berubah. Ia berjumpa dengan publik yang senantiasa baru, ia menerima
penjelasan lain yang selalu baru, pembaca baru. Terjadi pula nantinya perubahan
makna yang diberikan pembaca kepada teks. Kita lantas bisa mengatakan: Teks-
teks itu tidak mati, tetap sama dalam perjalanan waktu, tetapi ia selalu
berubah: Itulah teks yang hidup ketika dibaca. Ia akan menerima sejarah yang
panjang dan isi yang semakin kaya. Ia secara terus menerus mengisi ruang tanda
tanya (?) dengan pertanyaan yang senantiasa baru dengan isi yang semakin
kaya...
Melihat
bahwa teks akan selalu hidup, apakah anda masih bersikeras menyarankan
perubahan sosok fisik MMKI dalam tampilannya?
Sebenarnya saya rasa kalau diupayakan
tampilan baru, itu secara teknis sangat memungkinkan dan tidak ada persoalan.
Tetapi memang perlu kerja keras bak merobah lay-out bangunan. Mengenai hal ini
sudah dijawab oleh Nurel (iv). Misalnya tentang pemisahan catatan kaki: Baginya
97% tulisannya sudah mengandung referensi berupa catatan perut di tubuh esai
itu sendiri sisanya 3% tidak mengandung referensi. Pemisahan itu memang
kenyamanan baca menurut versi saya sebagai pembaca yang juga tidak mewakili
pembaca yang lain. Sebagai pembaca tentu perubahan akal budi akan selalu ada,
dan perubahan makna yang diberikan pada teks boleh saja berbeda termasuk tata
cara lay-out yang saya sebutkan tadi. Hal itupun boleh jadi tidak menjadi skala
prioritas utama, tetapi bagi saya seni membaca adalah ketika penulis melahirkan
teks-teksnya justru supaya mereka dapat terus hidup. Sementara di sisi pembaca
tidak berusaha menutupinya baikpun dari cakrawala asal usulnya, sebab hal itu
akan menjadi pendekatan yang berat sebelah kalau tidak mau dibilang pemerosotan.
Memang mengetahui banyak mengenai diri penulis, maksud dan keadaanya itu
menarik, tetapi itu bukan hal terpenting. Yang terpenting adalah hal yang
dikatakan oleh teks-teks itu sendiri, yakni dunia yang ia munculkan,
nilai-nilai yang ia sandang, dan kemudian setelah itu disusul dengan
konfrontasi, pengaruh timbal balik, ketegangan dan kadang
pertentangan-pertentangan dari semua hal itu dengan kenyataan dan nilai-nilai
dari pembacanya. Jika boleh mengutip Riceoeur (v), secara harafiah dikatakannya
bahwa kekuatan dari hal-hal yang dituliskan itulah yang menggerakkan penulis.
Sejatinya penulis teks tertangkap dan terdorong oleh masalah yang ingin ia
ungkapkan. Pada sisi yang bersebelahan, pembaca dapat tertangkap dan terdorong
oleh hal yang sama. Penulis mendapatkan ilham secara langsung oleh apa yang
ingin ia ungkapkan, sementara kenyataan bahwa ia telah mempublikasikan teksnya
adalah bukti bahwa ia puas dengan hasil perumusannya. Bila di wilayah ini
pembaca cukup memahami cara-cara yang
terwujud dalam teks, maka pembaca juga dapat berhubungan langsung dengan
apa yang dimaksudkan. Hal ini disebabkan oleh sesuainya daya kekuatan dan
arahan dari pengungkapan itu. Dalam pikiran pembaca, setiap kali akan tercipta
dunia yang dimunculkan oleh teks. Dunia di sini adalah dunia kata-kata yang
muncul dihadapan mata batin kita, sekaligus dunia yang dimunculkan pada masa
kini. Jadi kembali ke pertanyaan di atas, apakah saya (sebagai pembaca)
bersikeras menyarankan perubahan sosok fisik MMKI dala tampilannya: Jawaban
tetap: “ya” tetapi itu bukan yang terpenting, yakni ketika setelah saya selesai
membaca dan cukup memahami cara-cara yang terwujud dalam teks.
Jika
MMKI adalah subyektivitas Ignas Kleden berhadapan dengan subyektivitas Nurel
dan anda kini terlibat sebagai pembaca dengan subyektivitas anda, bagaimana
anda menerangkan wahana intersubyektivitas ini?
Sebenarnya keinginan saya sebagai
pembaca adalah menempatkan diri terhadap jangkauan historis teks yang disusun
dalam buku tersebut, tetapi jangkauan ini tidak terlalu baik jika dibanding
dengan daya kekuatan yang diungkapkan oleh teks itu sendiri dan kontak dengan
masa kininya. Karena teks hanya hidup di dalam dan oleh proses pemberian makna.
Kepada makna teks, kita dapat memberikan ungkapan begini: Pertama, Teks dapat dimengerti
(this text make sense). Kedua, Saya mencoba memahami teks ini (We try to make
sense of this text). Ungkapan yang pertama tadi berasal dari teks, yaitu subyek
yang berbicara dan ungkapan kedua adalah dari subyek yang mendengar dan yang
memberi makna yaitu pembaca. Dalam ilmu tafsir/ hermenutik, percakapan kedua
sisi ini adalah wahana intersubyektivitas. Saya juga ingin mengatakan bahwa
sumbangan produktif dari pembaca masih dapat dikemukakan dari sisi lain:
Apabila kita membuka buku, kita tidak lagi bisa bersikap netral, tidak bisa
lagi obyektif. Pada saat itu kita sebagai pembaca telah memperlihatkan suatu
pertimbangan nilai. Sederhananya: Kita berharap menemukan sesuatu yang berharga
dalam buku tersebut. Jadi membaca itu didahului oleh suatu keputusan: Keputusan
untuk membaca. Kemudian terjadi proses membaca. Disitulah ada sisi
subyektivitas, kerna itulah satu-satunya cara menghidupkan teks. Tentu
pembacaan itu tidak berarti untuk bisa berfantasi seenaknya. Bisa saja hal itu
dilakukan tetapi hanya merugikan teks. Oleh karena itu selama pembacaan
memerlukan sikap menjaga keseimbangan diri secara terus menerus, berusaha untuk
mempertanggungjawabkan kecenderungan untuk tidak menyisipkan atau memberi warna
dan tekanan yang terlalu banyak dalam bacaan. Dengan kata lain, pembaca perlu mengendalikan subyektivitasnya.
Sejujurnya di tahap ini saya sendiri dengan kegemaran saya membaca, agak lama
untuk belajar tidak mengingkari subyektivitas semacam itu. Tetapi menurut hemat
saya kemudian, kita tidaklah perlu merasa malu karenanya, bahkan sebaliknya
justru memanfaatkannya dengan baik demi teks yang dibaca. Demikian pula ketika
pertama kali berhadapan dengan MMKI: Wah, ini bacaan berat, begitu kesan awal
saya. Ini subyektivitas versus subyektivitas dan harus dibaca dengan
subyektivitas lain. Namun dengan niatan yang cukup baik (semelah mbah buyut,
kalau pinjam istilah Siwi D Saputro) saya toh mulai membacanya. Dan ketika
dibaca, makna-makna di dalamnya akan muncul berkat adanya daya khayal yang kita
gunakan dalam menjumpai teks. Keteribatan kitalah yang menciptakan
intersubyektivitas, dan dengan demikian aktualitas pesan teks itu tidak lagi
menjadi masalah.
Setelah
intersubyektivitas itu anda sadar, lantas bagaimana anda menikmati keseluruhan
buku MMKI. Saya kira anda tidak menyelesaikan pembacaan buku itu tuntas secara
keseluruhan karena waktu baca yang demikian singkat. Tetapi bagaimana anda
menggambarkan kejadian pembacaan itu secara keseluruhan?
Memang benar, terlalu berat untuk
menyelesaikan MMKI. Saya meloncat-loncat. Sekali lagi saya setuju dengan
sinyalemen Sunu Wasono: “Kalau beberapa subyektivitas Nurel tentang
penjelajahan dia kemana-mana dalam proses menulis buku itu dihilangkan dan
diskursus terhadap karya SCB dibangun lebih kuat maka akan menghasilkan
rekomendasi yang lebih mantab”... yang saya tidak sependapat dari catatan Sunu
adalah penghilangan riwayat proses menulis buku. Saya lebih sependapat kalau
bagian itu direlokasikan ke bagian lain misalnya sebagai lampiran agar kita
mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Pertama, Diskursus perdebatan tentang
karya SCB menjadi lebih fokus. Kedua, Kisah proses menulis buku itu bisa
dinikmati dengan ruangnya sendiri yang jauh lebih anggun, karena kisah itu juga
menarik. Ada alasan kuat mengapa pertanyaan “Bagaimana tepatnya riwayat teks
itu tersusun?” itu pertanyaan yang baik dan berguna dalam menghadapi isi buku.
Alasan pertama adalah menasihatkan agar kita tidak secara langsung memberikan
jawab atas pertanyaan: “Apa sih isinya?” karena pertanyaan ini menghadapi
jebakan yang berbahaya. Bahaya yang pertama dapat digambarkan seperti ini: “Oh
ya, saya tahu, saya menangkapnya. Teks itu berisi tentang hal ini dan hal itu”.
Itulah jebakan pertama: Kita terlalu yakin telah menemukan makna teks. Padahal
yang sebenarnya terjadi adalah kita menangkap beberapa isyarat dari teks yang
dalam batin lantas kita kelompokkan menjadi tema-tema tertentu tetapi tanpa
memperhitungkan berbagai isyarat yang belum kita sadari. Selanjutnya, tanpa
kita sadari sebagai pembaca yaitu ketika telah dipengaruhi oleh harapan dan
prasangka dan pandangan sendiri, Itulah jebakan kedua. Maka adalah sangat
bermanfaat bila pembaca belajar secara sadar membongkar gambaran yang dibentuk
melalui teks dan kembali kepada keadaan awalnya, atau bersikap sama sekali
sebagai pemula dengan memperlakukan teks tanpa rasa curiga. Tentu sebagai
pembaca tidaklah mudah bersikap kreatif sekaligus waspada atau benar-benar
memahami kecenderungan diri sendiri. Orang yang sangat terbuka sekalipun
seringkali gagal dalam hal ini. Maka karena yang kita baca adalah produk
literer, konsekwensi yang paling dekat adalah tuntutan mutlak untuk
memperlakukan teks-teks itu secara serius dari awal sampai akhir dalam
keberadaan literernya, karena makna cerita hanya akan muncul melalui proses
percakapan antara pembaca dan teks.... Dari situlah saya membagi MMKI dalam
tiga bagian penting yang sebenarnya masing-masing berdiri sendiri: Pertama
adalah naskah yang ditulis oleh Ignas Kleden sebagai naskah yang nantinya akan
dikritisi oleh Nurel, kedua, naskah yang ditulis oleh Sutardji C Bahri sebagai
bagian dari Kritik Ignas Kleden (pun sebagai naskah yang berdiri sendiri milik
Sutardji) dan ketiga adalah MMKI yang ditulis oleh Nurel. Maka andai tiga
naskah ini masing-masing dibundel dan diletakkan dalam rak buku, saya akan bisa
meringkaskan ceritanya: Ignas Kleden memberi apresiasi pada Sutardji, itu ada
di buku yang ini. Naskah yang diapresiasi oleh Ignas adalah buku ini, yaitu
puisi- puisi Sutardji. Dan kedua buku itu didedah lagi oleh Nurel dalam MMKI,
yaitu buku yang ini. Maka suatu ketika jika saja orang berbicara tentang puisi
Sutardji, saya bisa bilang: Oh, itu pernah diapresiasi oleh Ignas, dan beberapa
tahun kemudian dibedah kembali oleh Nurel.
Ya,
tetapi sampai terakhir anda tidak menyinggung sama sekali substansi per bagian
dari MMKI. Mengapa begitu? Padahal itu substansi intinya
Memang saya tidak terlalu berhenti
berlarut-larut pada dua puluh lima bagian yang ditulis oleh Nurel. Saya memang
berjalan menapaki tiap bagian-bagian, tetapi saya hanya berhenti sejenak di
situ. Barangkali disitu saya bisa pinjam istilah Nurel: Abstraksi miring agar
menerima jalan-jalan yang ada. Bayangkan pembacaan MMKI ini sebuah perjalanan
melalui dua puluh lima stasi. Saya harus berhenti di tiap stasi dan melihat apa
yang ada di sana sebelum beranjak berangkat ke stasi berikutnya. Bayangkan juga
saya berjalan bersama Nurel melalui stasi-stasi itu, sementara Nurel
menceritakan setiap bagian dengan detail, dan saya kewalahan menangkapnya,
meskipun ia supah berupaya menceritakan dengan irama yang disesuaikan dengan
daya tangkap saya. Dua stasi pertama ia bercerita tentang kata menerobos.
Kenyataanya sisa di benak saya tetap kaku dan tak kuncung cair karena di benak
saya kata menerobos sepadan dengan “short cut”, menyudet, serupa dengan sudetan
sungai Bengawan Solo di daerah Bojonegoro yang disudet supaya aliran air lebih
menempuh jalan pendek dan tidak berbahaya bagi luapan air ke desa-desa
sekitarnya. Di sinilah, saya menggiring argumen Nurel ke wilayah tanda tanya
(?) biarlah suatu kali ada pengertian baru yang “nyungsep” ke benak saya sampai
terjadi pencerahan baru. Di dua stasi berikutnya Nurel mempersoalkan kata
“upaya” dengan semua argumen kritisnya. Saya tetap saja berkutat pada
terjemahan upaya dari kata “effort”. Dan saya giring juga semua argumen Nurel
setidaknya dalam dua bagian itu kedalam ranah tanda tanya (?) semoga nantinya
juga ada peluang pengertian baru. Bagian enam, Nurel memakai perumpamaan tipuan
optis: Kalau sebuah pensil dimasukkan kedalam air, ia nampak bengkok dan nampak
lebih pendek, sebagaimana di bagian berikutnya Ia mempersoalkan kekaburan arti
(vagueness). Lantas yang ada di benak saya pun saya giring ke wilayah tanda
tanya: Kalau begitu, bagaimana dengan musikalisasi puisi? Puisi Taufiq Ismail
yang dinyanyikan oleh Bimbo atau Ahmad Albar, yang dengan meriah diikuti para
penggemarnya menggemakan sepotong bait syair itu: Mengapa kita bersandiwara?
Adakah itu sebuah vagueness? Jika sepotong karya literasi muncul dalam kultur
pop, bolehkah?. Kalau puisi SCB dimiring-miringkan lalu meloncat jadi hentakan
rap: zz bck zb zb zb dst dst, lantas? Apakah lantas ini yang dibilang oleh
Nurel di bagian delapan: Bagaimana Jika intan keluar dari mulut anjing, apakah
ia tetap mulia?. Bagaimana pula jika sebuah ungkapan “paribasan” lama: Air Susu
dibalas dengan air tuba, diplesetkan menjadi Air susu dibalas dengan Air Asia,
karena kemarin saya mentraktir segelas susu dan kawan saya membalasnya dengan
membelikan tiket sebuah maskapai penerbangan yang kebetulan namanya pakai air
juga. Saya masih tetap berkutat dengan apa yang saya pikir bahwa nenek moyang
kita tidak bodoh dengan paribasan. Ungkapan dalam paribasan itu cuma “mrucut” (vi)
dan itu harus dievaluasi, di sunting ulang, bukan untuk mengembalikan kepada
genggaman lagi supaya tidak “mrucut ulang” tetapi menghargai proses mrucut yang
manusiawi itu sebagai bagian dari proses sebuah sejarah (vii). Dalam hal
semacam slogan saya pikir budaya nenek moyang cukup “wise / wicaksana”
menempatkan katup pelepas, misalnya penempatan “punakawan” pada repertoir
wayang kulit semalam suntuk pada wilayah adegan khusus yang disebut
“goro-goro”. Wajah-wajah para panakawan yang bermuka “ngguyokna” dan dialog
mereka adalah perwakilan argumentatif terhadap apa yang ditulis Nurel pada
bagian sepuluh (viii). Ia bukan “Nrimo ing pandum” tetapi justru mengapresiasi
keadaan sesuai dengan posisi dan kodratnya sebagai punakawan (baca: rakyat
kebanyakan). Semua itu tetap saya giring ke wilayah anda tanya (?)
Sampai di Bagian Duabelas, saya harus
berhenti di sini. Karena saya temukan apa yang jadi pikiran Nurel: Dugaa-dugaan
awal yang sudi didialogkan. MMKI tidak berhenti di sini. Pengelanaan ini sampai
di wilayah tanda tanya (?) seperti saya usulkan sebagai judul catatan saya ini.
Bagian yang menarik dan membutuhkan pembacaan tersendiri (Bagian 20 sampai
dengan 24) membutuhkan frekuensi batin yang lebih tenang untuk dapat dibaca
kembali, selain juga pengalaman-pengalaman batin yang membutuhkan keseimbangan
saya sebagai pembaca dan “timeline” yakni waktunya untuk perwahyuan teks-teks
itu bisa “kawedar” lebih dalam. (Bagian 20 dan 23). Dan harap bersabar karena
bagian itu bukan bacaan “biasa”....
***
Menutup catatan ini, saya ingin
sampaikan bahwa sebagai pembaca (mudah-mudahan sebagai pembaca yang baik),
sedikit banyak saya meniru penulis MMKI dengan cara menyukai bahasanya dan
menggumulinya selama beberapa hari. Bagi saya, ini sebuah kesenangan memecahkan
teka-teki pada sebuah bacaan. Mungkin saja saya tidak dapat menikmati seluruh keindahan
MMKI, tetapi tentu tidak akan berakibat fatal seandainya tetap dibuka “Wilayah
Tanda Tanya (?)” sebagaimana usulan saya. Tentu tidak sepenuhnya saya memahami
dan memberi makna yang tepat pada teks yang tersebar di sekujur MMKI, namun
saya percaya bahwa seluruh teks MMKI telah disusun sedemikian rupa untuk
menyampaikan pesannya tersendiri. Dan jika tidak berhenti atau semakin berupaya
memahami bagaimana, sarana-sarana apa saja yang dipakai, maka kita akan semakin
melihat struktur, teknik dan menembusnya ke dalam. Demikianlah harapan....
Wassalam
Noe - Depok, Tanah Baru 2104/2018
Catatan
Akhir/ End Notes :
(i) Siwi D Saputro, Dari Yang Terekam Di
Acara Bedah Buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia : Sebuah Catatan
Tengah; Facebook 18 April 2018.
(ii) MMKI halaman 63, paragraf 3.
(iii) Nurel tidak
begitu berkenan dengan istilah upaya, ia membenturkannya dengan istilah:
Semangat atau perjuangan. MMKI halaman 20 paragraf 1 atau halaman 24, paragraf
5. Saya tetap memakai istilah “upaya” atas padanan terjemahan dari effort (Inggris).
(iv) Pada:
Lamunan ke Brunel University ataukah di UI; Nurel Javissyarqi FB 19/04/2018.
(v) Jean Paul
Gustave Ricoeur (1913-2005) Phenomenology & Hermeneutic - "Paul
Ricœur". Inamori Foundation. Archived from the original on 23 May 2013.
Retrieved 15 December 2012.
(vi) Tak sengaja
lepas dari genggaman.
(vii) MMKI
halaman 40 paragraf 1.
(viii) MMKI
halaman 47 paragraf 2.
Catatan sebelumnya http://sastra-indonesia.com/2018/04/catatan-dari-seorang-pembaca-mmki/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar