: Sebuah Catatan
Tengah *
Siwi Dwi Saputro
Ini adalah sebuah catatan yang sengaja saya unggah, di
hari ke-9 setelah acara berlangsung pada tanggal 9 April yang lalu. Hal ini bukan
tanpa alasan. Ada beberapa alasan yang baik alasan rasional ataupun irrasional.
Seperti halnya Nurel yang mengatakan bahwa keberangkatanya ke Jakarta melalui
stasiun Babat (dan dia sudah menjelaskan A sampai Z nya mengapa demikian), maka
kalau saya boleh meminjam kata-kata Barthes tentang Semiotika** atau kalau saya
lebih nyaman dengan mengatakan sebagai Superstition atau tahayul, pilihan saya
mengapa saya unggah hari ini adalah:
1. Walau saya hidup di kota Metropolitan, nyatanya saya
sering bertemu dengan realitas sehari-hari yang akrab dengan mitos, tahayul,
kepercayaan-kepercayaan lain yang sungguh irrasional dibanding dengan
rasionalitas Jakarta dan warganya.
2. Hari ini hari Rabu, 18 April. Sembilan hari setelah
tanggal 9. Di agama yang saya imani, angka 9 adalah angka yang istimewa karena
angka 9 itu berarti Novena. Novena berasal dari bahasa Latin dari kata Novem.
Maka saya akrab dengan Doa-Doa Novena. Doa selama sembilan hari berturut-turut.
3. Saya menghindari mengunggah catatan saya hari Selasa
kemarin. Nah. Percaya atau tidak, di Jakarta saya sering berbicara dengan sopir
taksi, sopir angkot, mandor bangunan dan tukang tagih atau debt colletor. Dari
mereka saya tahu, apabila hari Selasa, terasa waktu berjalan lambat dan banyak
pekerjaan yang tak terselesaikan. Sopir taksi dan sopir angkot mengeluhkan sepi
penumpang, tukang tagih menghindari menagih pada hari Selasa, karena
kemungkinan berhasilnya kecil. Dan dari encim-encim*** yang kutemui di sebuah
rumah sakit dia memberitahuku sekaligus memberi peringatan keras : “Jangan
pulang dari rumah sakit pada hari Selasa dan Sabtu”. Kamu boleh pulang, kalau
kamu menginap di rumah sakit karena melahirkan. Mengapa? Karena dipercaya akan
berakhir kurang baik. Bisa jadi naik akan balik opname di rumah sakit lagi atau
yang paling parah meninggal dunia. Aku percaya dan tak percaya, tapi kalau itu
masih bisa dalam posisi tawar aku memilih yang aman. Pernah kawanku opname di
rumah sakit, karena sudah sembuh diijinkan pulang. Hari itu hari Selasa.
Jumatnya dia opname lagi pindah rumah sakit. Lalu kuberitahukan hal itu, sampai
kini dia sehat wal afiat (kejadian 3 tahun lalu). Pernah juga temanku, dia
pulang dari rumah sakit hari Selasa. Akhirnya bolak balik ke rumah sakit, dan
sekarang sudah almarhum.
Kembali ke acara bedah buku. Nurel sebenarnya sudah
bermain dengan Semiotika Barthes ini di bukunya, ketika dia berbicara tentang
tanda dan penanda. Untuk merefresh dengan apa yang sudah saya tulis sebelumnya,
esensi dari buku Nurel ini (menurut subyektivitas saya) berbicara tentang:
Alibi, Credo, Kun Fayakun, Gelar Presiden Penyair, Hari Puisi Indonesia dan
Puisi Sumpah Pemuda, serta mandegnya atau setidaknya sampai saat ini belum ada
karya fenomenal terbaru dari SCB, walau begitu para pengikut SCB tidak berani mengkritiknya,
pun demikian dengan Ignas Kleden. Ada semacam megalomania disini.
Sedikit catatan kecil dari acara bedah buku kemarin,
karena moderator tidak menyilakan atau menanyakan nama penanya, maka saya
kesulitan mau menuliskan siapa penanya yang tidak saya atau belum saya kenal.
Sihar Ramses Simatupang
Sebagai pembedah, Sihar Ramses memaparkan bahwa buku
Nurel ini melalui kajian yang mendalam. Namun tingkat keilmiahannya -esai atau
kritik- belum begitu mendalam. Sihar lebih mengatakannya “Nurel mampu menulis
sebuah novel.” Di lain pihak Sihar mengatakan mengapa memilih SCB? Dari sekian
anak-anak yang ditanyai Sihar, tak ada satupun anak yang menjawab SCB. Dalam
hal ini bila ditarik benangnya : SCB tidak terkenal. Mengapa mengulas SCB? Atau
jangan-jangan Nurel terlalu mendewakan SCB, sehingga menganggap SCB itu mitos?
Dan ketika Nurel sudah semakin dekat dan tak berjarak, jadilah dia menghantam
balik SCB. Mengkritisinya. Sihar lebih banyak menyoroti buku ini mengapa tidak
masuk melalui kajian sosial politik, kajian ketika masa-masa SCB memulai
kariernya. Melalui pergumulannya.
Sunu Wasono
Saya setuju dengan Sunu Wasono yang sangat mengapresiasi
karya Nurel ini, walau karya ini masih di wilayah abu-abu. Dianggap Analisa
Wacana bukan, dianggap novel juga bukan. Kalau beberapa subyektivitas Nurel
(tentang penjelajahan dia kemana-mana dalam proses menulis buku itu
dihilangkan) dan diskursus terhadap karya SCB dibangun lebih kuat maka akan
menghasilkan rekomendasi yang mantab. Dalam bukunya Nurel juga menuliskan
tentang perjumpaannya dengan beberapa orang gila. Nurel menambahkan cerita
tutur lisannya pada 2 hari menjelang hari H, bahwa dia sendiri merasa sebagai
orang gila. Hal ini mengingatkan saya pada Foucault. Dia mengungkapkan adanya
perubahan diskursus mengenai kegilaan pada abad pertengahan dengan abad ke-20.
Pada abad pertengahan, ia menyimpulkan bahwa pada masa itu orang gila tidak
dianggap berbahaya namun dianggap memiliki kebijaksanaan batiniah sedangkan
(mungkin Nurel berada disini?), dan pada abad ke-20 orang gila diperlakukan
sebagai orang sakit yang membutuhkan perawatan agar dapat pulih. Dan akhirnya
lebih dari sekadar gila, sekarang tahap sudah paling menghawatirkan adalah apa
yang disebut schizophrenia. Tentang hal ini lebih lanjut bisa dibaca pada buku
Foucault Madness dan Civilization serta Anti Oedipus : Capitalism And
Schizophrenia yang ditulis Gilles Deleuze and Felix Guattari. Buku yang diberi
kata pengantar oleh Foucault.
Sunu juga menyarankan hendaknya menulis Mitos yang lebih
melegenda semisal bahwa Pelopor Sastra di Indonesia adalah Balai Pustaka. Namun
ternyata dari bacaan yang dibacanya di PDS, banyak sastra-sastra Melayu yang
telah tumbuh dan berkembang sebelum Angkatan Balai Pustaka. Alangkah eloknya
kalau Mitos ini yang dibongkar. Didekonstruksi. (Maaf mas Sunu, nama penulisnya
siapa? Salman atau Salmon?).
Remi Novaris
Remi mengatakan bahwa kita tak perlulah membongkar
mitos-mitos. Biarlah mitos itu hidup di zamannya. Setiap angkatan mempunyai
mitosnya sendiri. (Lihat tulisan Sabrank Suparno, Ketua Bidang Sastra di Dewan Kesenian
Jombang tentang bedah buku ini disana).
Maman S. Mahayana
Saya lebih terpaku dengan mitos baru atas Sepatu dan
Sandal Nurel. Dari Maman S. Mahayana saya mendengar tentang pertanyaan: “Kamu
pakai sandal?” ada sesuatu yang terpercik di benak saya dengan ucapan itu.
Tidak tahu bagimana jalan ceritanya, pastinya kepulangan Nurel ke Lamongan
telah bersepatu. Tentang Sepatu dan Sandal mungkin nanti akan saya tulis di
kelak kemudian hari. Baik yang ada hubungannya dengan Nurel atau dalam konteks
tentang sepatu dan sandal itu sendiri. Yang pasti Nurel adalah anak yang
tersesat dan dengan penuh kekuatan Maman menyarankan Nurel untuk bertobat.
Sofyan RH. Zaid
Ada tiga hal yang ditanyakan Sofyan yaitu tentang apa itu
Mitos? Apa itu Revolusi dalam Kritik Sastra? Dan Sofyan menganggap esai Ignas
Kleden tak berbahaya. Tidak ada dasar yang kuat mengapa esai itu harus dibahas.
Penanya yang tak kutahu namanya
Menurutnya Puisi bukan mitos. Puisi adalah realitas
sesaat. Tidak ada yang salah dengan Kun Fayakun. Semua itu adalah proses
perjalanan dari SCB dan seharusnya menunggu karya SCB selanjutnya. (Dari buku
Nurel karya SCB selanjutnya belum terdengar. Juga catatan Sabrank, mungkin bisa
sedikit memberi gambaran).
Nurel Menjawab
Nurel menjawab berapi-api. Entah karena terlalu
bersemangat atau terlalu stress karena tidak bisa membuat asap lokomotif. Yang
pasti, di belakang Sofyan menggerundel karena Nurel tidak menjawab
pertanyaannya. Dalam menjawab argumentasi Sihar, Nurel memakai landasan yang
berbeda. Mungkin terlalu grogi atau entah seharusnya Nurel bisa menjawab dengan
baik tentang:
1. Apa definisi mitos menurutnya?
2. Apa itu edisi revolusi kritik? Apanya yang direvolusi?
Atau revolusinya dimana?
3. Dalam menjawab tentang pemilihan esai Ignas Kleden
baik kiranya kalau Nurel menjawab dengan santai sambil tersenyum (saya jadi
ingat kata-kata “Membunuh Sambil Tersenyum.” Hehe… boleh belajar sama saya, eh
belajar tersenyum maksudnya) bahwa esai Ignas Kleden adalah jalan untuk
membahas esai-esai atau membuat kritik untuk tokoh selanjutnya (dengar gosip
selanjutnya H.B. Jassin yang akan dibahas ya? Jadi sesuai dengan tuturan Sunu
Wasono, untuk membahas tokoh-tokoh yang lain mengingat ini baru buku pertama).
4. Dalam menjawab mengapa SCB? Mengapa mendekonstruksi
SCB? Nurel tidak menghargainya? Nah rupanya jawaban ini menguap. Seharusnya dia
ingat dengan apa yang ditulisnya tentang Balada Jala Suta.
Akhirnya, seperti kata Nurel di bukunya bahwa kritik itu
semacam saudara tidak muhrim, masih dapat dibatalkan wudhunya. Dan lagi semua
yang terjadi di acara bedah buku kemarin boleh dijadikan masukan atau
diabaikan. Ini bukan soal ujian skripsi, thesis atau disertasi yang formal,
yang kalau apa kata para penguji tidak dipedulikan bisa fatal akibatnya.
_________
*) Catatan Tengah: bukan mau menyaingi GM tapi mengikuti
Vetty Vera sedang-sedang saja. Saya berusaha memposisikan seperti apa yang saya
rasakan, saya bayangkan das sein bukan das sollen.
**) Menurut Barthes Semiotika adalah keberadaan suatu
tanda, dimana tanda tersebut terdapat makna yang tersembunyi dibaliknya dan
bukan merupakan tanda itu sendiri. (Saya lampirkan artikel tulisan Chiara
Anindya tentang Semiotika dan Taylor Swift).
***) Encim-encim: KBBI ~~ 1 wanita keturunan Cina yang
sudah bersuami 2 sapaan (panggilan) terhadap wanita keturunan Cina yang sudah
bersuami.
eof
sds.18.4.18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar