Membaca
Subyektivitas (Nurel) atas Subyektivitas (Ignas Kleden dan Sutardji Calzoum
Bachri)
Siwi Dwi Saputro *
Telah hadir buku Esai (mungkin kritik
juga) yg berjudul Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia yang ditulis oleh
Nurel Javissyarqi. Buku setebal 500 halaman ini semakin mengukuhkan pandangan
bahwa kritik sastra itu merupakan karya kreatif juga.
Sastrawan menafsirkan hidup dan lalu
menuliskan ke dalam karya sastra. Kritikus sastra menafsirkan karya sastra dan
lalu menuliskannya dalam bentuk kritik sastra.
Jadilah kritik sastra sebagai karya
re-kreasi. Kreasi atas kreasi, tafsir atas tafsir.
Nah, dalam buku ini Nurel dirangsang
oleh tafsir Ignas Kleden atas puisi Sutardji Calzoum Bachri. Sebagai tafsir
sangat mungkin subjektivitas Ignas Kleden muncul. Subjektivitas inilah yang
mendorong subjektivitas Nurel membedahnya kalimat demi kalimat, paragraf demi
paragraf. Buku ini merupakan kritik atas kritik. Subjektivitas atas
subjektivitas. Sangat menarik untuk dibaca. Siapa tahu nanti juga akan lahir
kritik atas buku ini. Anda harus membacanya. (Tengsoe
Tjahjono).
Semelah mbah
buyut...(mantra diajarkan oleh embah putri dan emak saya).
Saya
meniru Sabrank Suparno dengan mengucapkan mantra juga untuk mengawali bahasan
tentang buku MMKI ini, walaupun mantra Sabrank terkait dengan penjualan buku.
Sebelum
masuk ke buku, ijinkan saya cerita sedikit ketika saya bertandang ke FIB UI.
Saya langsung jatuh cinta dan simpatik kepada M. Yoesoef, Kepala Departemen
Susastra. Ketika kami bertemu, saya utarakan maksud saya dan ringkasan tentang
buku ini. Respon yang saya dapat langsung menukik pada persoalan: ada esainya
Ignas Kleden di buku ini? Kredo Sutardji juga ada? Begitu tanyanya. Langsung
saya mendapatkan beberapa point yang ingin saya punguti.
Kembali ke buku.
Pertama-tama
ketika melihat judul bukunya saja dan membaca nama Nurel tertera sebagai
penulisnya, saya langsung pusing. Walau hanya mengenal Nurel lewat
tulisan-tulisan yang di posting di facebook, saya sudah dapat merasakan
kepusingan itu sejak membaca embrio buku ini yang di posting di status facebook
Nurel, dan kemudian diberinya komentar sendiri. Komentarnya itu berupa lanjutan
paragraf yang ditulis pada status yang di posting. Karena cukup mengikuti apa yang menjadi
kelakuan dan kebiasaan Nurel, maka tak mengherankan bagi saya, kalau kemudian
status dan komennya itu disembunyikan atau malah dihapus sekalian untuk
kemudian di file dan disimpan rapi untuk dikompilasi menjadi satu paragraf.
Secara
keseluruhan buku MMKI memang memusingkan. Barangkali kalau ditulis dengan gaya
bahasa yang lugas dan tidak berbelit-belit akan lebih dapat diterima oleh semua
kalangan. Juga pemilihan beberapa kosa kata yang tidak lazim dipakai menjadikan
buku ini semakin terkesan mbulet (berbelit-belit)
dan nggladrah (tidak fokus, tersebar
kemana-mana). Perlu diperhatikan bahwa kita menulis adalah untuk dibaca oleh
orang lain. Agar tidak terjebak pada apa yang dikritiknya seharusnya penulis
menghindarkan diri dari cuci tangan dan ikut bertanggungjawab dengan apa yang
ditulisnya.
Sejauh
yang saya ketahui, buku MMKI ini memang lama sekali penyusunannya. Jika dilihat
dari tanggal awal yang tertera di bagian pertama disana tertulis 15 Juni
2011/23 malam Juni 2015 dan 26 Oktober 2015. Saya tak tahu pasti penanda apakah
ini, tapi mungkin Nurel ingin mengatakan bahwa bagian pertama ini diawali
penulisannya pada tanggal 15 Juni 2011, dan dibaca ulang dan diedit lagi pada
tanggal-tanggal yang tertera belakangan. Bagian akhir buku ini ditulis pada
Agustus 2017. Enam tahun adalah waktu yang panjang, maka tak mengherankan kalau
buku ini penuh dengan kajian mendalam yang dilakukan penulisnya selama kurun
waktu tersebut. Suatu kurun waktu yang berdarah-darah. Nurel mengatakan bahwa penulisan buku ini 80
persen dikerjakannya pada kurun waktu 15 juni 2011 dari bagian I sd 26 Oktober
2012 bagian XXIII. Otomatis dalam kurun waktu satu tahun lebih ini, sudah 80
persen dari buku ini digarap. Sedangkan sisanya diselesaikan pada tahun 2013 sd
2017.
Syukurlah.
Nurel sendiri menyadari kalau membaca bukunya pasti membuat pembaca pusing.
Kalau boleh dianalogikan dengan salah satu slogan You scratcth my back I scratch yours. Ini salah satu kata-kata
ampuh yang dapat menggambarkan bagaimana digdayanya Soeharto pada zamannya. The Smiling General, Raja Jawa dan
banyak sebutan lain yang melekat. Kesemuanya itu terpaut dengan istilah diatas.
Istilah yang menggambarkan bagaimana suatu keterkaitan yang akibatnya bisa baik
ataupun buruk.
Kepusingan
yang dibuat Nurel untuk para pembacanya juga banyak sekali. Ada beberapa hal
yang saya catat disini:
1. Penggunaan
kata-kata bahasa daerah yang tidak ada keterangan dalam bahasa Indonesia.
Dijamin para pembaca yang tidak punya bahasa ibu bahasa Jawa akan pusing lebih
dari tujuh keliling.
2. Cara
penulisan catatan kaki yang langsung tempel pada tulisan, membuat buku ini
terkesan ruwet dan tidak luwes. Juga buku-buku yang jadi bahan bacaan tidak
ditulis dalam bagian tersendiri dalam Daftar Pustaka. Walaupun Nurel berdalih
itu pilihannya, namun sebaiknya untuk edisi revisi atau buku-buku selanjutnya
tidak dilakukan.
3. Banyak
kata-kata yang salah ketik atau typho
dan suara bakti. Seharusnya suara bakti muncul kalau kata itu dibunyikan atau
disuarakan bukan dalam teks. Contoh suara bakti terlampir pada kata-kata yang
dicetak tebal.
4. Banyak
pemilihan kata-kata yang tidak baku, sehingga sebagai pembaca dan saya kesulitan mengkonsultasikannya pada KBBI
ataupun PUEBI. Semisal Nurel lebih suka memilih kata dinaya daripada daya.
Apabila salah ketik dinaya dengan huruf kapital D, maka akan berbeda maknanya
dan maksud tujuannya. (daftar terlampir).
5. Penulisan
yang tidak lazim misal dll ditulis &ll. Atau saya yang kurang update.
Disini Nurel juga tidak konsisten menuliskannya. Ada sebagian menggunakan dll
dan sebagian lain memakai &ll.
Membaca
MMKI memang memerlukan ekstra tenaga, demikian juga apabila ingin membedahnya.
Memberikan komentar. Tak kurang seorang Tarmuzie, yang notabene guru Nurel
berucap : "Kejam”. Kekejaman itu pula rupanya yang mungkin menyurutkan
langkah Binhad dan juga yang lain urung membedah buku ini. Kalau boleh menyitir
kata-kata Nurel di bukunya “Kritik itu semacam saudara tidak mukrim, sudah
menikah masih boleh digugat balik untuk membatalkan wudhunya”. Mungkin juga karena
alasan ini atau juga mungkin karena alasan lain buku ini terlahir dari
subyektivitas Nurel, seperti yang ditulis oleh Tengsoe Tjahjono (diatas).
Namun
demikian demi menjawab atas subyektivitas yang dilekatkan kepadanya, saya
menemukan juga obyektivitas yang dilakukan Nurel tentang kajiannya.
Saya menangkap 6
hal yang esensi dari buku ini secara keseluruhan:
A. Kritik Nurel
akan Esai Ignas Kleden
Nurel
menganggap posisi Ignas Kleden yang abu-abu, antara mau mengkritik atau
memujanya. Disisi lain IK mau mengkritik, namun disisi lain tak ada atau kurang
keberanian atau malas dan enggan untuk mengkritik SCB. Jadilah esai IK ini
menjadi kurang ketajamannya dan yang ada adalah upaya membelokkan atau
mencarikan Alibi kalau dalam istilah SCB untuk karya SCB. Hal ini dikupas
tuntas oleh Nurel di setiap paragrafnya. Dari upaya memaknai kata semisal
perbedaan antara menerobos dan membebaskan, antara upaya dan usaha. Selanjutnya
dapat dilihat di buku pada bagian awal.
Disini Nurel lengkap menuturkan tentang makna, jenis kata, bentuk kata dan tata
bahasa dari Menerobos.
Lebih
lanjut Nurel memberontak, bahwa seharusnyalah sesuatu yang menjadi mitos itu
telah melalui kurun waktu yang lama, setidaknya satu abad, sehingga gagasannya
sudah teruji. Sekarang yang terjadi, kebanyakan orang, mahasiswa ataupun juga para pengkritik enggan membaca, lebih
senang mendengar cerita dan kurang memupuk daya nalar sehingga boleh dikatakan
banyak para perilaku sastra terpukau pada kupasan-kupasan yang dinalarkan,
dialog yang diandaikan memperkuat bangunan yang hendak dicanangkan, ketakutan
tidak sesuai. Atau lebih singkatnya semacam ketakutan pada nama besar.
Hal
itu juga terlihat pada esai Ignas Kleden yang mengesankan Ignas Kleden tidak
berani terang-terangan berseberangan dengan SCB. Tidak hanya Ignas Kleden yang
berlaku demikian, pun juga Sapardi Djoko Damono yang menyatakan “Jadikan Sastra
sebagai seni Bukan Ilmu Sekolah”. Demikian juga dengan Abdul Hadi W.M.,
Dami N. Toda.
B. Alibi
Kritik
kedua adalah tentang Alibi dalam puisi adalah alibi kata-kata. Nurel sangat
tidak berpendapat dengan istilah ini, karena alibi itu berkonotasi buruk dan
mengesankan tidak bertanggungjawab. Dalam hal ini, SCB tidak bertanggungjawab
atas karyanya. Sebagai perbandingan Nurel mengutip kata Pablo Picasso “Seni
adalah kebohongan yang memungkinkan kita
untuk menyadari kebenaran”.
C. Kredo Puisi
Saya
kutipkan kata-kata SCB dari halaman 167 buku MMKI “Sebagaimana Tuhan tidak bisa
dimintakan pertanggungjawabannya atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya”.
Salah satu kata yang juga ditentang Nurel, karena disini SCB menempatkan Tuhan
sebagai sosok yang tak bertanggungjawab. Nurel memberikan pembandingnya dengan
cerita Nabi Musa. Bayangkan bila Tuhan menyuruh Musa untuk melempar tongkatnya,
tapi tak membuat mukjizat dengan mengeluarkan ular dari tongkat Musa. Apa yang
terjadi? Pun demikian dengan hasil puisi dan karya sastra lainnya. Penulisnya
tak bisa lepas tanggungjawab.
Pembahasan
tentang kata terdapat ini dapat dilihat di Kredo Puisi SCB hal 425. Sejalan hal
ini ada satu keberatan Nurel tentang apa yang dikatakan Taufiq Ismail tentang
kuasa kata yaitu tentang penyair adalah
penguasa kata-kata. Menurut Nurel ini merupakan hal yang sangat gegabah. Lebih
tragisnya lagi, di banyak kehidupan sehari-hari, kata-kata seorang penyair
kalah ampuh dengan kata-kata yang diungkapkan politisi.
D. Kun Fayakun
Tentang
Kun Fayakun, Nurel menolak keras apa yang dikatakan oleh SCB yang mengartikan
Kun Fayakun sebagai Jadi maka jadilah dan Jadi lantas jadilah. Bahkan Nurel
menyebutnya sebagai sangat ugal-ugalan (hal 492) dengan bertingkah “melupa dan
mengingat”. Kata-kata ini yang mengingatkan saya pada salah satu baris syair
lagu Hotel California dari Eagles “Some
dance to remember, some dance to forget”. Kun Fayakun seharusnya
diterjemahkan dengan Jadilah maka Jadilah. SCB telah dengan berani mengubah
kata perintah menjadi kata benda. Nurel membandingkannya dengan kalimat dari
Rene Descartes “Cogito Ergo Sum” yang
artinya “Aku berpikir maka aku ada”, bagaimana kalau diubah menjadi “Aku pikir
maka aku ada.” Mungkin disini lebih jelas maksudnya.
Istilah
ini mengingatkan saya pada salah satu ayat Kitab Suci yaitu Kitab Kejadian
1:3 yang menyebutkan Berfirmanlah Allah: “Jadilah
terang.” Lalu terang itu jadi. Mungkin ini dapat sedikit menjelaskannya. Dengan
mengacu pada Jadilah adalah kata perintah, maka di bagian ini saya mau tidak
mau harus memihak Nurel. Allah berfirman: Jadilah terang, lalu terang itu jadi.
Pembahasan panjang lebar tentang hal ini terdapat mulai halaman 136.
E. Hari Sastra
Hari
Sastra Indonesia diperingati setiap tanggal 3 Juli yang disamakan dengan
lahirnya sastrawan Abdul Muis. Maklumat ini atas gagasan Taufiq Ismail. Lagi
menurut Nurel, para senior ini telah kehabisan akal dalam penciptaan karya yang
lebih ampuh dari sebelumnya dan lebih banyak mencari jalan agar tetap dianggap
eksistensinya.
F. Sumpah Pemuda
dan hari Puisi Indonesia
Tentang
Sumpah Pemuda ini, SCB dkk juga menafikan peran tokoh-tokoh dibalik Sumpah
Pemuda. Hal itu terlihat dalam kata-kata SCB yang menganggap bahwa kesadaran
masyarakat banyak pada waktu itu dengan berbangsa satu, bertanah air satu dan
juga berbahasa satu itu belum ada, masih in
absentia. Keberadaannya masih di depan sadar. Hal ini bisa terjadi karena
SCB malas untuk dan kurang rendah hati
untuk membaca karya-karya tokoh Sumpah Pemuda yaitu M. Yamin.
Demikian
pula dengan deklarasi hari Puisi Indonesia yang mengambil hari lahir Chairil
Anwar, 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia. Lagi disini Nurel berteriak keras,
pertama dalam mukadimah pendeklarasian hari Puisi, SCB dan kawan-kawan
berpegang pada teks Sumpah Pemuda yang dianggap sebagai puisi pendek dan lalu
memakai hari lahir Chairil Anwar sebagai hari Puisi Indonesia, sementara disisi
lain, terlontar kabar dari HB. Jassin bahwa Chairil Anwar tak lebih seorang
penyadur.
Fakta
ini semakin menunjukkan kalau SCB kurang rendah hati untuk membaca karya-karya
terdahulu, karya-karya M. Yamin.
LAIN-LAIN
Dari
nggladrahnya buku ini, sebenarnya dapat ditemukan beberapa pengetahuan tentang
tasawuf, tentang tata bahasa Indonesia, tentang filsafat, tentang sejarah dan
juga kajian sosiologis dan seni. Kalau Nurel membayangkan para mahasiswa sastra
harus belajar filsafat juga mungkin harus menulis sesuatu yang lebih menukik
tajam ke persoalan inti. Mengingat di UI, di FIB ada departemen Filsafat. Dan
mengingat Filsafat adalah cabang dari semua ilmu, maka pastinya sudah ada
pengantar ilmu filsafat diberikan kepada para mahasiswa. Mungkin kalau Nurel
menulis dan berdasar pada rambu-rambu atau tatanan penulisan ilmiah semacam
thesis atau disertasi, maka tidaklah mustahil kalau impian untuk tampil atau
memberikan kuliah umum di Brunell University dapat kesampaian.
Ada beberapa Pengetahuan Umum yang
terdapat di dalam buku ini semisal tanggal lahir raja Louis, tanggal lahir
Chairil Anwar dan juga Abdul Muis. Juga pengetahuan tentang Kayu besi. Juga ada
petikan syair lagu, semisal dari Eagle, Hotel California (diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia), tentang Aesop Fable “cerita tentang Rubah yang tak
bisa memetik buah anggur, lalu menggerutu barangkali buahnya masam”. Yang tak
kalah menarik adalah perjalanan spiritualnya ke bumi Nuca Nepa atau Pulau Ular.
Tentang Nuca Nepa atau Pulau Ular sebaiknya dibuat satu buku tersendiri.
Perjalanan imajiner yang sungguh sayang jika dilewatkan tetapi terlalu membuat
bosan apabila diikutsertakan di buku ini. Boleh diambil beberapa paragraf
sebagai pengantar tentang lingkungan atau alam tempat seseorang dilahirkan dan
dibesarkan. Lingkungan, adat istiadat, kebiasaan dan budaya sangat berpengaruh
pada seseorang termasuk dalam proses pembentukan mindset atau cara berpikir. Bukan rahasia karakteristik orang kota,
orang desa, orang gunung, orang pantai atau orang pedalaman dapat terbaca dari
tingkah laku sehari-hari. Tak kurang di salah satu novelnya Romo Mangun
mengungkapkan hal ini, tentang perempuan gunung dan perempuan dusun. Tentang perempuan
pantai dan perempuan kota. Kalau tidak salah ada di novel Lusi Lindri, salah
satu dari novel triloginya.
Karena
Nurel berpijak memakai tanah kelahiran Ignas Kleden dalam menelaah
karya-karyanya, maka akan lebih memudahkan bagi kita untuk juga mengetahui
latar belakang Nurel. Bisa dilihat di halaman biografi. Mungkin imajinasi
tentang Bengawan Solo dapat membantu.
Juga
beberapa catatan atau kutipan dari Wikipedia, biarkan para pembaca mencari dan
membacanya sendiri. Seperti kata-kata dalam dialog imajiner dengan M. Yamin.
Tak usah beralasan biar menambah beberapa halaman.
Agar
tulisan ini mampu melewati zaman dan berbagai kepentingan aturan yang
kemungkinan akan menderanya, apabila dimungkinkan akan ada edisi revisi,
hendaknya Nurel mencoba menulis ulang dalam bentuk thesis yang tertata rapi dan
ikut aturan baku, semisal penggunaan catatan kaki, daftar literatur yang dibaca,
alangkah elok kalau ditulis dalam bab tersendiri. Hal ini diperlukan untuk
memudahkan pembaca dan mungkin peneliti untuk melalukan pengecekan dan counter attack. Saya rasa para penulis
yang bukunya dijadikan bahan bacaan akan merasa senang dan bangga bila karyanya
tercantum dalam daftar pustaka. Dan bagi penulis sendiri, boleh berbangga akan
banyaknya literatur yang dibaca, sehingga studi literatur yang dilakukannya
dapat terdokumentasi dengan baik dan tak menutup kemungkinan akan jadi bahan
kajian di kelak kemudian hari. Juga alangkah lebih classy lagi kalau di dalam buku diberikan indeks, sehingga
memudahkan pembaca atau peneliti mencari kata-kata kunci di halaman-halaman
yang bertebaran di buku ini.
Satu
lagi yang ingin saya sampaikan, di buku ini Nurel mengkritik akan sebutan
Presiden Penyair dan beberapa sebutan lain. Tapi Nurel sendiri terjebak pada
satu predikat atau julukan yang dipilihnya, yang dikiranya aman tanpa ada
protes yaitu : pengelana. Pengelana bisa di sama artikan dengan pengembara.
Kata dasar kelana, kata benda yang artinya mengadakan perjalanan ke mana-mana
tanpa tujuan tertentu; kembara. Nah disini letak persolannya. Kalau menyebut
diri sebagai pengelana berarti tak mempunyai tujuan tertentu. Sehingga buku
yang ditulis ini menjadi tak ada maknanya, kalau ditulis tanpa ada tujuan.
Sebaiknya pilihlah sebutan lain dan itu bukan pengelana. Nanti bisa juga
terjebak bahwa buku ini hanya semacam klangenan,
penggembira yang tak ada isi pengetahuan yang dapat diserap.
Akhirnya, sampai
ketemu di bedah buku 9 April dan 3 Mei. Syalom.
eof
Sds. 31.3.2018
Daftar terlampir:
1. 38 intah : intan, 2. 69 hasana : khasanah, 3. 75 Webset : Website, 4. 78 &st : dst, 5. 78 Krakalau : Krakatau, 6. 79 jatung : jantung, 7. 81 memangfaatkan : memanfaatkan, 8. 85 dinaya?, 9. 86 mana : perlu penjelasan, 10. 86 diasmak?, 11. 93 bermain jaratan : bermain jaranan?, 12. 97 pelahan : perlahan, 13. 97 sedaya bantul 97/98 : sedaya
pantul, 14. 100 Howking?, 15. 104 awalkali : awal kali?, 16. 104 pelitian : penelitian, 17. 106 hiasa : hiasan?, 18. 113 rabahan : rabaan? Atau rebahan?, 19. 113 dipunggah : perlu penjabaran, 20. 114 rating : ranting, 21. 114 kerkataan : perkataan?, 22. 121 Bejawa : Bajawa, 23.
123 betebaran : bertebaran, 24. 127 ternging : terngiang, 25. 134 halil?, 26. 134 deladapan 238 ??, 27. 134 cekeremes?, 28. 134
memunjeri?, 29. 149 dipatenken :
dipatenkan, 30. 153 perkembaangan : perkembangan, 31. 165 khasana?, 32. 166 akli?, 33. 166 Aesop fox : pindah ke halaman utama, 34. 167 menyuruny :
menyuruhnya, 35. 167 Renuangan : renangan, 36. 170 Sinahui : sianui?, 37. 175 kemengslean : mengsle?, 38. 175 asatir : harusnya huruf besar Asatir, 39. 179 ritua?, 40. 206 mugil : mungil, 41. 207 kintir : dikasih penjelasan, 42. 226 Jleguran di
blumbang : dikasih penjelasan, 43. 232 daya : bukan dinaya?, 44. 239 Sim sala bim : sim salabim?, 45. 240 Grubyag-grubyug :
dikasih penjelasan, 46. 244 mederai : menderai, 47. 245 banter : bahasa Indonesia, 48. 253 fitna?, 49. 253 Pergeserak : pergerseran?, 50. 253 wedar : Indonesia?, 51. 254 pangling?, 52. 257 : Noted halaman, 53. 269 dikator : diktator, 54. 269 ngelokro : bahasa Indonesia, 55. 270 terlunta-lunda : terlunta-lunta, 56. 270 mempuni : mumpuni, 57. 301 pemengaruh : pengaruh, 58. 305 lansung : langsung, 59. 323 Howking : Hawking?, 60. 377 uang ketas : uang kertas? 61. 383 fabebook : facebook, 62. 405 yepyur : mengepyurkan?, 63. 450 melubagi : melubangi, 64. 454 ketagikan : ketagihan,
65. 454 kemuliaanya : kemuliaannya, 66. 455 dikjaya : digjaya atau digdaya?, 67. 468 lowak?, 68. 490 sinahu?, 69. 494 diprekes :
Indonesia?, 70. hilaf?, 71. ilangkah?, 72. Dll?, 73.
Penuwaan?, 74. Pegapesane (titik kelemahan) : pengapesane?, 75. hianat?, 76. akli? 77. ijtihat?, 78. festifal?, 79. ksatri?, 80. pelahan? 81. didedah?, 82. vi digelilingi?, 83. pebukitan?, 84. menjelmah? 85. 380 musah : mudah?
*) Penulis yang bergabung
di Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPKDG).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar