Hasnan Bachtiar *
Sastra-indonesia.com
“Kritik sastra…mencerminkan bukan saja kematangan estetik kita,
tetapi juga kejelasan intelektual, kesungguhan moral yang sekaligus
mentakrif kemanusiaan kita.” (Azhar Ibrahim Alwee)
SUATU artikulasi estetis yang dituangkan dalam karya sastra bukanlah
kata-kata tanpa mutu, karena selalu memiliki kualitas-kualitas makna.
Makna hidup, makna dunia, dan makna-makna yang terlahir dari nurani
penciptanya. Namun yang jarang disadari
adalah, sebagai goresan pena penyair, bahwa syair-syair (termasuk kritik
sastra) merupakan ungkapan intelektual.
Bila demikian, kata kunci
intelektual akan membawa kita kepada dua hal: yang pertama adalah
bagaimana konstruksi sosial di balik teks, sedangkan yang kedua adalah
untuk tujuan apakah teks tersebut ditulis. Dalam konteks ini, Nurel
Javissyarqi yang memperkarakan sastrawan terkemuka Sutardji Calzoum
Bachri dan kritikus sastra Ignas Kleden, menarik untuk diapresiasi.
Bila dahulu kita mengenal istilah “Paus Sastra” yang ternisbat kepada
nama H.B. Jassin, dalam dunia sastra Indonesia kini, terbit “Presiden
Penyair” yang tertuju pada Sutardji. Penobatan Sutardji sebagai
presiden, mendapat dukungan intelektual secara mantap oleh Kleden.
Anugerah megah ini, tentu lebih prestisius dibanding dengan gelar-gelar
akademik semacam doktor kehormatan (honoris causa) dari
universitas. Sebagai gelar kultural yang dianggap mendapatkan konsensus
sekaligus legitimasi publik, maka tidak jarang masih menyisakan
pertanyaan, pengujian lebih lanjut dan tantangan dari pelbagai jalan.
Persoalan “otoritas” inilah yang menjadi masalah utama dalam perkara
yang diajukan oleh Nurel.
Paling tidak, soal otoritas yang digugat ini memiliki lima poin penting yang akan dibicarakan dalam tulisan ini. Pertama,
sandangan gelar “Presiden Penyair” bukan menunjukkan absolutisme, namun
sekedar pengakuan (psikologis) oleh beberapa pihak yang setuju untuk
mengangkat derajat Sutardji; Kedua, diamnya suara-suara kritis menunjukkan betapa kuatnya diskursus Sutardjian dan boleh jadi membentuk dogma tertentu; Ketiga,
pengakuan terhadap suatu hal yang dianggap tinggi dan penting tanpa
pengungkapan kritisisme menunjukkan adanya kejanggalan dalam khazanah
kepenyairan dan sastra Indonesia kini; Keempat, pemberian gelar
tanpa koreksi ilmiah, namun lebih menitikberatkan pada soal kepantasan,
kerabat, pertemanan atau nepotisme, berarti merupakan korupsi sejak
dalam pikiran; Kelima, konstruksi dekonstruksionisme-popular
yang dijadikan fundamen suatu mazhab sastra, merupakan hal yang “aneh”,
mengingat kompleksitas kondisi sosial (kemanusiaan) yang dialami oleh
kebanyakan rakyat miskin negeri ini.
Pertama, “Presiden Sastra” yang kultural ini boleh digugat
oleh siapapun, bila memiliki alasan-alasan yang sekiranya rasional dan
masuk akal. Dengan demikian, berarti absolutisme tidak pernah ada.
Betapapun masyarakat sastra tidak pernah menyebut istilah absolut, namun
tidak adanya suara lain yang muncul untuk mencoba menguji kualitas
ilmiah sastra tersebut, berarti menunjukkan betapa anggapan absolut
telah mengendap di dalam alam bawah sadar dan menunjukkan betapa
kritisisme telah tumbang termakan oleh trend, tersilap oleh semarak
bungkus yang mewah dan melenakan. Adanya yang absolut bukan berarti
karena yang relatif telah diasumsikan terlebih dahulu, atau keduanya
saling mengisi. Dalam perbincangan filsafat kontemporer pun, persoalan
ini tidak terselesaikan. Bukan hal ini yang menjadi soal penting untuk
kita bahas, namun menganggap gelar kultural sebagai pengakuan yang taken for granted,
kiranya lebih baik untuk dipikirkan ulang. Semua sastrawan memiliki
sisi kemanusiaan yang wajar, setimbang, sederajat dan dengan demikian
tidak perlu secara natural menumbuhkembangkan benih-benih feodalitas
dalam khazanah ini.
Kedua, tanpa disadari “masyarakat bisu” telah hadir dalam
pergumulan dan pergolakan sastra tersebut. Ini menunjukkan bahwa betapa
kuat diskursus yang menguasai ruang publik. Jika demikian, dampak yang
paling mungkin adalah terseret kepada arus popularisme dan bahkan
popularisme narsistik, desublimasi represif dan dalam bahasa yang lebih
jernih sebenarnya hal-hal itu adalah dogmatisme. Diagnosa psikoanalisa
memberi kejelasan pada elemen-elemen alam bawah sadar bahwa sesungguhnya
dogmatisme terhadap diskursus tertentu, sebagian sebagai
ketidakberdayaan perlawanan, sementara sebagian yang lain adalah hukum
moral yang menjelma secara natural, per se, otonom dan sesungguhnya
itulah yang mengisi imajinasi, di samping sisi lain bahan-bahan imajiner
dari yang faktual. Manusia sastra merasa “biasa saja” terhadap dogma
Sutardjian atau melakukan pembelaan, keduanya sama-sama terpenjara oleh
kekuasaan psikologis yang menumpulkan dimensi kritisisme. Dengan
demikian, the silence community merupakan representasi yang
paling tepat untuk menyebut diskursus – yang mestinya diteliti ulang ini
– sebagai kekuasaan yang sangat besar, terlepas bahwa apakah hal itu
berkualitas, berfungsi, baik, bermutu dan memiliki fondasi epistemologis
yang kokoh.
Ketiga, pengakuan terhadap Sutardjian, namun alpa kritisisme
menunjukkan adanya kejanggalan dalam khazanah kepenyairan dan sastra
Indonesia kini. Artinya, ini persoalan politik. Di mana pun,
perbincangan mengenai politik selalu dua arah: pusat dan pinggiran.
Selalu ada yang dekat dengan kekuasaan, dan selalu ada yang dikuasai.
Konteks di mana kontestasi susastra terjadi kini, menampakkan kejelasan
bahwa berdirinya Sutardjian di hadapan publik berarti berdiri
berdasarkan aktivitas politik sastra. Bukan sastra sebagai kewajiban
moral, hukum alam dan hukum akal sehat untuk menjunjung humanisme
sosial, tetapi sastra sebagai perangkat, komoditas, alat jual beli dan
lain sebagainya. Meskipun Sutardji sendiri pernah mengungkapkan bahwa,
“Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa
yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.”
Pernyataan ini sangat janggal ketika terjadi kemenangan politik dan
penaklukan sastra (dominasi), berarti kata-kata, puisi, prosa, kritik
sastra yang ditulisnya hanyalah alat politik, sementara di lain pihak
dinyatakan bahwa, “Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.” Ini
membingungkan karena bebas dari apa? Adakah kata bebas dari permainan
relasi kuasa? Sementara bila pengertian kata yang bebas berarti
benar-benar bebas, akan memberi beban pembenaran bahwa dogma Sutardjian
tidak memberikan kepedulian terhadap naturalitas hukum alam dan
kemanusiaan. Menjadi pertanyaan di sini, hendak dibawa ke mana
kontradiksi argument Sutardjian ini?
Keempat, pemberian gelar tanpa koreksi ilmiah, jelas
merupakan nepotisme. Bila sudah demikian, tidak heran bila terjadi
korupsi intelektual, atau dengan kata lain, korupsi sejak pada
pertimbangan akal sehat. Penganut Sutardjian sebenarnya bukan tidak
memiliki kehendak kritis untuk menunjukkan di mana kekuarang maupun
kelebihan atas apa yang didukungnya. Semua manusia punya potensi bawaan
untuk membekali dirinya dengan ketajaman mata genealogis. Kiranya sulit
dibantah bila ada argumen bahwa nepotisme-lah penyebab alpa kritisisme
ini. Membawa persoalan ini lebih mendasar kepada relung kemanusiaan,
maka tengah terjadi “korupsi intelektual” yang tengah menjangkiti para
pengiman dogma Sutardjian. Lolosnya popularitas “resmi” Sutardjian
(Presiden Penyair) menunjukkan bahwa, betapa kecurangan demi kecurangan
ditampilkan, dilakukan terus-menerus, menjadi tradisi dan gaya sastra
yang seksi, namun tercela. Apakah tidak ada yang memahami bahwa korupsi
intelektual ini menghianati hukum akal sehat dan hukum hati nurani?
Ataukah barangkali bergelimang dosa yang bersenjatakan penipuan-penipuan
dan kelincahan metodis lebih memuaskan hati mereka?
Kelima, konstruksi dekonstruksionisme-popular yang dijadikan
fundamen suatu mazhab sastra, merupakan hal yang “aneh”, yang menginjak
martabat realitas. Pelbagai kredo kebebasan tanpa batas, nihilisme dan
kekosongan religious menjadi kunci-kunci hermeneutis yang menjadi simbol
Sutardjian. Hal ini tidak akan dianggap aneh, jika seorang penyair
tidak pula memiliki tanggungjawab intelektual. Dengan demikian, “bila
tidak memiliki tanggungjawab sosial.” Karena hakikat intelektual
bukanlah kera yang berpikir, namun kepedulian untuk mengangkat martabat
sesamanya (humanisasi) yang sedang berkesusahan oleh pelbagai persoalan
sosial. Menjadikan sastra berfundamen kebebasan tanpa batas (nihilisme)
yang menopang mazhab dekonstruksionisme adalah hidup yang melanggar
kodrat, yaitu kodratnya sebagai manusia yang eksistensial. Manusia yang
semestinya memanusiakan dirinya dan manusia di sekitarnya, berbuat baik,
membikin sastra berfungsi-sosial, artikulasi estetis untuk perjuangan
perlawanan terhadap rezim kekuasaan politik yang korup, untuk
dogma-dogma dan ideologi-ideologi yang membelenggu, serta berjuang untuk
mengentaskan kemiskinan, sangat berbeda dengan sastra untuk sastra,
sastra untuk hura-hura, kenikmatan religious individual, egoisme dan
keengganan berlaku ma’ruf. Hukum alam yang benar, menata agar manusia
hidup rukun, berdampingan dan makan bersama-sama, serta hidup dengan
penuh cinta, memberikan petunjuk bahwa itulah hidup berdasarkan akal
sehat dan hati nurani. Tentu saja hal ini sama sekali berbeda bila
berhukum pada diri sendiri yang termangu dalam kekosongan yang hampa,
tanpa ujung pangkal realitas yang mengemuka, kecuali hanya mimpi di
dalam mimpi yang sedang dimimpikan.
Mempertimbangkan kelima persoalan di atas, maka tulisan-tulisan
kritis Nurel ketika menelaah Kleden merupakan hal yang patut untuk
dipikirkan secara serius. Tidak sembarang orang yang berani melawan
dehumanisasi sastra Sutardjian. Hanya mereka yang memiliki ketajaman
mata genealogis, kekuatan kritisisme, fundamen epistemologis yang kokoh
dan keberanian untuk menantang otoritas, ideologi dan dogma-lah yang
mampu melakukan humanisasi sastra, agar berfungsi sosial, agar berjalan
selaras kodrat hukum alam, hukum hati nurani dan hukum akal sehat.
Beberapa kali penulis secara khusus mencermati tulisan-tulisan Nurel
penuh dengan konsistensi dan kedisiplinan untuk menimbang dan member
catatan kritis atas dogmatisme sastra kontemporer dan adanya
gejala-gejala sindrom kultus teori. Lebih dari itu semua, selaras dengan
pendapat kritikus Azhar Ibrahim Alwee bahwa, “Kritik
sastra…mencerminkan bukan saja kematangan estetik kita, tetapi juga
kejelasan intelektual, kesungguhan moral yang sekaligus mentakrif
kemanusiaan kita”. Segala ikhtiar kritis Nurel janganlah pernah dianggap
sebagai aktivitas untuk memperkeruh persoalan dan berniat membuat
kegaduhan. Kritik sastranya adalah upaya untuk menetralkan segala
dominasi sastra dan kritik sastra, agar kebebasan dan kemanusiaan
berjalan beriringan, dengan penuh pertimbangan yang masuk akal. []
*) Peneliti Filsafat di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM
http://sastra-indonesia.com/2014/03/melawan-dehumanisasi-sastra-sutardjian/
"Sebuah kata adalah perjuangan dan warna menjadikan nyawanya" (Nurel Javissyarqi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
Adzka Haniina Al Barri
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Akhmad Taufiq
Ali Topan Diantoko
Asap Studio
Asarpin
Awalludin GD Mualif
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Ballads of Too Early Destiny
Berita
Berita Utama
Catatan
Catatan KPM
Chamim Kohari
Chicilia Risca
Christian Zervos
Dami N. Toda
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dimas Arika Mihardja
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Eka Budianta
Esai
Evan Ys
Fahrudin Nasrulloh
Fanani Rahman
Fatah Anshori
Fikri MS
Gema Erika Nugroho
Hadi Napster
Hasnan Bachtiar
Heri Listianto
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Imron Tohari
Inspiring Writer
Inung AS
Iskandar Noe
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kitab Para Malaikat
Komunitas Deo Gratias
Kritik Sastra
Laksmi Shitaresmi
Liza Wahyuninto
Lukisan
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Maman S. Mahayana
Marhalim Zaini
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mh Zaelani Tammaka
Mofik el-abrar
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Nurel Javissyarqi
PDS H.B. Jassin
Pengantar antologi puisi tunggal “Sarang Ruh”
Pengantar KPM
Picasso
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Puisi
Rabindranath Tagore
Rakai Lukman
Raudal Tanjung Banua
Rengga AP
Resensi
Robin Al Kautsar
Sabrank Suparno
Sajak
Sampul Buku
Saut Situmorang
SelaSastra Boenga Ketjil
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sunu Wasono
Surat
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Tarmuzie
Taufiq Wr. Hidayat
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tosa Poetra
Trilogi Kesadaran
Universitas Jember
Wawan Eko Yulianto
Wawan Pinhole
Yona Primadesi
Yuval Noah Harari
Isi Buku Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Isi Kandungan Buku MTJKSCB
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Isi Kandungan Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar