Hasnan Bachtiar *
Sastra-indonesia.com
“Don, adone djongkong, djongkong ijo godonge senthe. Ati-ati riko nompo omong, omong manis mesti katute.”
Potongan syair manis di atas didapat dari “kumpulan” lagu-lagu Osing
yang bertajuk “Podho Nginang.” Penulis hanya terlupa siapa pengarang
“asli” syair tersebut. Terjemahanan bebasnya kurang lebih, “Adonan kue
djongkong, kue djongkong hijau itu terbalut daun senthe. Hati-hati
kita semua menerima perkataan, perkataan manis pastilah membuai.” Perlu
diketahui bahwa, artikulasi sastrawi ini memiliki makna yang terpaut
erat dengan persoalan politik, verifikasi ilmiah dan kejujuran
intelektual. Karena itulah, sepanjang tulisan ini secara lugas akan
membahas tentang persoalan sastra dan kejujuran intelektual.
Tulisan ini merupakan kritik. Kritik yang dimaksud, adalah kritik
sastra sekaligus kritik pemikiran dan filsafat. Fokus pembicaraan yang
diajukan, menyangkut teks yang bertajuk, “Sastra Versi Iklan Kecap Indonesia” (2012)
yang ditulis oleh kritikus Nurel Javissyarqi. Meskipun demikian, untuk
kelengkapan bahan kritik, disertakan pula pemikiran-pemikiran dari Dami
N. Toda, A. Teeuw, Ignas Kleden dan Sutardji Calzoum Bachri, sebagai
wacana utama.
Konsepsi kritik ini memanfaatkan analisis multidisipliner, khususnya
ilmu-ilmu dalam disiplin humaniora. Untuk mempermudah analisis, maka
penulis mencoba menjadikan segala bentuk teks dan pemikiran sebagai
bagian dari wacana (discourse). Kendati demikian, tulisan ini
murni interpretasi terhadap teks-teks kritik dan sastra, maupun
pemikiran yang terhampar di hadapan penulis. Karena itu sejak awal,
menghendaki segala permakluman atas perbedaan-perbedaan pandangan
menyangkut gagasan yang diajukan. Persoalan pokok yang menjadi tema
utama adalah, “Apa itu kritik sastra mutakhir?”
Apa itu kritik sastra mutakhir?
Sesungguhnya tidak ada yang paling “mutakhir” dalam gagasan
kemutakhiran yang ditawarkan. Bahkan secara filsafati, ide “mutakhir”
adalah cacat yang tampak di permukaan. Inilah pijakan awal tatkala
membincang setiap pembakuan ide tertentu.
Pelbagai istilah operasional dalam pemikiran, hanyalah alat yang
membantu manusia untuk mempermudah dalam menganalisis. Meskipun dalam
pelbagai aspek, kerapkali menggunakan konsepsi filsafati tersebut dengan
cara yang berbeda. Mungkin benar, salah satu penyebabnya adalah
keberbedaan penafsiran (multi-interpretif) di antara para penulis. Belum
lagi bahwa, konstruksi sosial dan kebudayaan turut menambah bobot
keberbedaan tersebut. Secara lebih jauh dalam psikoanalisa, dimensi
biologis yang paling natural dari manusia (id), emosi-hasrat yang paling pribadi (ego) dan penghayatan individual akan kehidupan (super ego), membentuk adanya kepastian pluralisme daya dalam interaksi di antara subyek-subyek. Ini pembicaraan horisontal.
Sementara dalam ruang vertikal, yang materiil dan yang ideal (manusia
dan alam), dilengkapi oleh struktur hidup yang disebut dengan istilah
“waktu”. Dalam buku Essai sur les données immédiates de la conscience yang ditulis oleh Henry Bergson, telah dipertimbangkan hadirnya ide durée
yang dalam bahasa Indonesia, kurang lebih bermakna “lamanya” atau waktu
yang psikis. Secara eksistensial, waktu ini yang ambigu ini memang ada
dan hadir. Persoalannya, dapatkah istilah “mutakhir” yang memiliki kata
dasar “akhir” yang bermakna purna, ter-kini, terikat oleh waktu yang
paling sekarang, benar-benar menjumpai eksistensinya yang hakiki?
Sebelum para ilmuwan eksistensialis seperti Heidegger, Jaspers dan
Kierkegaard terlibat dalam diskusi dalam mimbar akademik, Gabriel Marcel
dalam karangannya yang berjudul Position et approches concrètes du mystère ontologique
(1933) telah menegaskan adanya keunikan persoalan kehadiran ini.
Kira-kira mirip seperti Bergson, hanya manusia yang insyaf dan
menyadari-lah yang memahami waktu kaitannya dengan ketidakmungkinan yang
paling pasti untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan kekinian dan
kedisinian.
Sampai di sini, berarti ada dua gagasan menyangkut waktu. Pertama, waktu mengada sebagai dirinya sendiri (being in itself), sedangkan yang kedua, waktu hadir dalam benak kesadaran kemanusiaan atau menjadi hal yang fenomenal (terra in cognita). Kedua hal ini menjadi pembicaraan khas dalam metafisika. Seperti misalnya, perbedaan istilah science dan knowledge dalam bahasa Inggris, atau ilmu dan pengetahuan dalam bahasa Indonesia. Bila dihubungkan dengan hakikat “kebenaran” sebagai suatu hal yang senantiasa dicari, maka science (ilmu) itu mengada, sementara knowledge (pengetahuan) menyaratkan adanya dimensi kesadaran agar hadir di tengah-tengah cogito
manusia. Bila yang pertama sudah dalam kodratnya sebagai hal yang
metafisis, sedangkan yang kedua, memiliki potensi tergambar dalam ruang
metafisika tatkala manusia mencoba mencandra apa yang dimaksud dengan
“kebenaran” yang hendak diketahui.
Persoalan ini terangkum secara jernih dalam catatan Husserl sebagai
tokoh fenomenologi dan Sartre sebagai pemikir eksistensialis. Mengikuti
struktur filosofis dalam buku Ideen zu einer reinen Phänomenologie und phänomenologischen Philosophie
(1913) yang ditulis oleh Husserl, maka “waktu” itu sendirilah selaksa
mentari yang bersinar menyinari semesta yang penuh harap akan terang
dunia. Hakikat tentang waktu akan sampai kepada manusia, bila manusia
berlapang dada untuk mengetuk dan membuka pintu “ego transendental”,
sehingga ketidakmungkinan mengisi ruang-ruang kemungkinan dalam ruang
batin intelegensia. Tampillah kemudian apa yang dimaksud dengan
visualisasi tentang waktu (Vergegenwärtigung). Membenarkan kesadaran akan waktu dengan cara yang berbeda, Sartre dalam L’être et le néant. Essai d’ontologie phénomenologique
(1943) berpendapat bahwa, sesungguhnya penyebutan akan kebenaran waktu
itu sama halnya dengan mengatakan keberadaan diri kita sendiri. Waktu
itu hadir, hanya untuk “diidamkan” bahwa hal itu benar-benar hadir dalam
diri (waktu) itu sendiri. Karena kehadirannya diinginkan, maka “atas
ketidakmampuan manusia” sebenarnya itulah “tindakan kreatif” oleh setiap
penulis sendiri (être pour soi). Inilah kesenyapan metafisika, yang senantiasa menjadi misteri.
Sementara dari sini, belum ada satu pun yang sedemikian gegabah
mengatakan bahwa metafisika benar-benar diketahui, dikuasi atau
sebaliknya, metafisika dihancurkan sejak dalam hakikatnya. Nietzsche
berpendapat bahwa atas segala kekurangan manusia inilah, semestinya kita
menaruh hormat atas fenomena nihilisme. Bukan berarti semua kebebasan
diperkenankan, namun secara arogan menisbatkan diri sebagai satu-satunya
pemangku kebenaran, bukanlah contoh yang dapat dipercaya, bahkan itu
berarti, mempertontonkan keruntuhan gagasan yang sejak awal salah.
Sekali lagi, apapun itu, pembakuan bukanlah hal yang dapat diterima.
Dengan mengapresiasi gagasan ini, Michel Foucault dan Derrida secara
konsisten menerapkan dalam karya-karya filsafatnya.
Kendati demikian, kerap kali ditemukan beberapa kesalahan pembacaan
di antara para ilmuwan yang gagal memahami nihilisme dan dekadensi
Nietzsche, kuasa, seni dan dekadensi Foucault, serta metafisika,
logosentrisme dan dekonstruksi Derrida. Resiko bahwa semua manusia
niscaya tidak sempurna, dekaden, selalu ingin berkuasa, tidak sepenuhnya
menangkap metafisika, meninggikan bahasa lisan, memanfaatkan bahasa
tulis dan sebaliknya, secara misterius, manusia sekaligus memiliki
kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk bersikap kritis, termasuk kepada
dirinya sendiri. Semoga pembaca memiliki toleransi yang tinggi dan
menyadari sepenuhnya bahwa setiap pembakuan, justru menunjukkan cela
diri.
Dalam konteks filosofis ini, kritikus yang mempromosikan beberapa
nama-nama asing dalam khazanah kritik sastra Indonesia, tentu memiliki
haknya untuk mendapatkan toleransi tersebut. Hanya masalahnya, secara
tidak sadar mungkin, ketika memperkenalkan nama Roland Barthes misalnya,
ia sengaja melupakan segala gagasan cemerlang Barthes. Salah satu yang
paling menonjol adalah penemuan tentang Le degré zéro de l’écriture
(1953). Peneliti mitos ini hendak mengumumkan langkah yang arif untuk
melepas segala tendensi ideologis ketika memulai menulis suatu karya.
Tentu saja ini hal yang mustahil. Bahkan, seorang filsuf sosial Jerman,
Karl Mannheim dalam “Ideologische und soziologische Interpretation der
geistigen Gebilde” (Jahrbuch für Soziologie, 1i, 1926)
menganggap tidak pernah ada netralitas. Semua pengarang tentu saja
utopis ketika menulis pengetahuan tertentu, tidak terkecuali Barthes dan
Teeuw. Kendati demikian, sangat perlu dimaklumi sekiranya ada promosi
kearifan oleh Barthes yang disampaikan secara kurang arif oleh
komentatornya,
“Teori sastra telah berkembang dengan pesat pada paruh kedua abad
ke-20 ini, sehingga teori-teori lama tidak dapat diandalkan lagi untuk
membaca dan memahami karya sastra. Di Indonesia teori-teori mutakhir ini
jarang dikenal atau hanya sedikit diketahui orang. Akibatnya, teori
sastra Indonesia sering ketinggalan zaman.” (Kumpulan esai A. Teeuw,
“Membaca dan Menilai Sastra,” 1983).
Belum lagi bahwa Roland Barthes pernah mengajukan ide “kematian pengarang”. Dalam karya L’empire des signes
(1970) dengan penuh kehati-hatian, Barthes mengingatkan kepada setiap
penafsir bahwa, tidak ada tafsir yang paling baku di mana pun. Seolah
ingin mengungkap bahwa, kita ini adalah manusia-manusia yang papa, bukan
Tuhan. Sayangnya, penetapan adanya “teori mutakhir” yang seolah
meninggikan gagasan Barthesian, justru tersaji secara diluar dugaan.
Kata-kata, “Di Indonesia teori-teori mutakhir ini jarang dikenal…
Akibatnya, …sering ketinggalan zaman” menunjukkan betapa kita harus
memaklumi adanya alpa terhadap gagasan yang merasa tinggi, sekaligus
mencoba merendahkan yang lain.
Implikasi diskursif ini tentu saja menghampiri beberapa pemikiran
sastra lainnya. Aliran dekonstruksionisme sastra mantra Sutardjian
kiranya perlu dipertimbangkan lagi bila hendak disebut sebagai sastra
mutakhir. Arif Budi Wuriyanto (2012) dalam salah satu sesi kuliahnya
menyampaikan bahwa, Sutardji dengan mantranya, mengidamkan gerak kembali
kepada semesta, kembali kepada alam dan asal-muasal kelahirannya,
sebelum makhluk. Tandasnya, itulah bentuk syukur yang diekspresikan
melalui lantunan sajak-sajak yang tidak berpola, murni dan bebas. Dengan
demikian, segala kekayaan dalam karya “O Amuk Kapak” (1981) adalah
kesadaran akan kepapaan yang sangat manusiawi. Dengan kata lain, itulah
cara Sutardji memahami diri dan Tuhannya dengan sangat religius. Hanya
saja, sekali lagi, ketika pembakuan terjadi atau ada praktik
kategorisasi terhadap gagasan tertentu, termasuk pengukuhan
“dekonstruksionisme” berarti, ia tak lebih dari sekedar penyelewengan
sastra mantra Sutardji itu sendiri. Anehnya, barangkali hal ini terjadi
juga dalam teks kritik, “Isyarat: Kumpulan Esai” (2007) yang “selesai”
ditulis oleh Sutardji. Ada kondisi di mana Sutardji sebagai penyair dan
kritikus sastra. Dalam kompleksitas ini, Ignas Kleden sebagai kritikus
Sutardjian, belum secara detil mengamati peluang-peluang cela atas
gagasannya sendiri.
Kiranya tidak terlalu salah bila penulis menyebut bahwa,
ke-“mutakhir”-an hanyalah angan-angan belaka. Keputusan ini menuntut
para kritikus untuk memeriksa pemikiran-pemikiran sastra di sepanjang
sejarah bangsa ini. Persoalannya, pembacaan akan dilakukan terhadap
substansi pemikiran (epistemé) yang paling pelik sejak zaman
dahulu, ataukah keragaman pemikiran berdasarkan waktu yang paling
menginjak kesekarangan? Misalnya saja, apakah pemikiran sastra W.S.
Rendra sudah cukup mutakhir, ataukah sebagai karya sastra yang usang?
Di titik inilah kiranya, kita justru harus mengapresiasi kerja keras
A. Teeuw, Sutardji dan Ignas Kleden. Pasalnya, dengan menghadapi
tantangan-tantangan pemikiran yang sangat segar, akan melatih setiap
kritikus untuk lebih bersungguh dalam membaca sekaligus mengasah
kearifan yang dimiliki. Di lain pihak, Nurel Javissyarqi yang
terus-menerus berkarya dan konsisten dengan pendiriannya, dalam
posisinya sebagai kritikus telah mengajarkan ketajaman kritik. Dalam
buku “Trilogi Kesadaran” (2006), Nurel sudah sedemikian gencar
melancarkan kritik-kritik yang berbobot terhadap konservatisme pemikiran
sastra. Dogmatisme, baik dalam sastra klasik (sastra daerah), maupun
sastra kontemporer, bukanlah hal yang perlu untuk dibanggakan. Begitu
pula pada bentuk konservatisme lainnya seperti nativisme, estetisme,
narsisme, dekonstruksionisme dan lain sebagainya.
Pada akhirnya, penulis mengajukan bahwa gagasan “kritik sastra
mutakhir” itu bermasalah. Karena itu, kendati manusia tidak pernah lepas
dari masalah, seorang kritikus yang baik tidak akan mudah terpukau oleh
komentar atau kritik yang manis begitu saja (omong manis mesti katute).
Sebaliknya, ia juga akan bersikap dewasa ketika menghadapi kritik
tajam, karena jiwanya yang kokoh. Tulisan ini hanyalah sekedar diagnosa
(verifikasi ilmiah) terhadap pemikiran sastra dan kritik sastra, yang
berusaha dengan segenap hati untuk jujur secara intelektual, tanpa
“katut” (turut, semena-mena) pada istilah-istilah yang membuai
seperti “mutakhir” dan lain sebagainya. Dengan demikian, silahkan
membaca karya sastra apa pun, dari mana pun, termasuk Serat-Serat
Ronggowarsito atau puisi-puisi Eropa kontemporer tanpa rasa sungkan dan
khawatir.[]
*) Hasnan Bachtiar, Peneliti filsafat di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM
http://sastra-indonesia.com/2019/10/mendiagnosa-kritik-sastra-mutakhir/
"Sebuah kata adalah perjuangan dan warna menjadikan nyawanya" (Nurel Javissyarqi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
Adzka Haniina Al Barri
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Akhmad Taufiq
Ali Topan Diantoko
Asap Studio
Asarpin
Awalludin GD Mualif
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Ballads of Too Early Destiny
Berita
Berita Utama
Catatan
Catatan KPM
Chamim Kohari
Chicilia Risca
Christian Zervos
Dami N. Toda
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dimas Arika Mihardja
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Eka Budianta
Esai
Evan Ys
Fahrudin Nasrulloh
Fanani Rahman
Fatah Anshori
Fikri MS
Gema Erika Nugroho
Hadi Napster
Hasnan Bachtiar
Heri Listianto
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Imron Tohari
Inspiring Writer
Inung AS
Iskandar Noe
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kitab Para Malaikat
Komunitas Deo Gratias
Kritik Sastra
Laksmi Shitaresmi
Liza Wahyuninto
Lukisan
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Maman S. Mahayana
Marhalim Zaini
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mh Zaelani Tammaka
Mofik el-abrar
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Nurel Javissyarqi
PDS H.B. Jassin
Pengantar antologi puisi tunggal “Sarang Ruh”
Pengantar KPM
Picasso
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Puisi
Rabindranath Tagore
Rakai Lukman
Raudal Tanjung Banua
Rengga AP
Resensi
Robin Al Kautsar
Sabrank Suparno
Sajak
Sampul Buku
Saut Situmorang
SelaSastra Boenga Ketjil
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sunu Wasono
Surat
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Tarmuzie
Taufiq Wr. Hidayat
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tosa Poetra
Trilogi Kesadaran
Universitas Jember
Wawan Eko Yulianto
Wawan Pinhole
Yona Primadesi
Yuval Noah Harari
Isi Buku Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Isi Kandungan Buku MTJKSCB
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Isi Kandungan Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar