Hasnan Bachtiar *
Aku ingin meletakkan sekuntum sajak di makam nabi, supaya sejarah menjadi jinak dan mengirim sepasang merpati – Kuntowijoyo –
UPAYA susastra seorang sastrawan, adalah aktivitas sejarah. Betapapun
di era kontemporer ini marak dikumandangkan karya sastra yang dianggap
otonom, maka penulis sastra tidak pernah terbang dari bumi di mana ia
berpijak.
Dari sekian banyak kritikus sastra Indonesia, Nurel Javissyarqi
adalah salah satu penulis yang ternaungi oleh berkah buminya. Ia mencoba
menimbang syair-syair, puisi, prosa dan kritik sastra yang lahir dan
tumbuh dari negerinya sendiri, khususnya penjelasan-penjelasan sastra
dan kebudayaan oleh Ignas Kleden.
Dalam konteks ini, tidak ada sastra yang hanya sastra. Yang ada
adalah sastra yang ditulis oleh latar belakang sejarah yang jelas dan
untuk masa depan sejarah yang jelas pula. Jika seorang sastrawan seorang
yang baik, maka kemungkinan besar karyanya tentu baik dan mencerminkan
kebaikan.
Hal yang sama diungkapkan oleh Mursal Esten (1988) bahwa kreativitas
bukanlah hal yang berdiri sendiri. Di samping merupakan aktivitas
seorang seniman, kreativitas adalah suatu proses yang kompleks,
menyangkut lingkungan sosiokultural. Subadyo Haryati dalam karyanya yang
bertajuk “Seniman dan Seni di Indonesia” (1983) menegaskan bahwa
seorang penyair sesungguhnya merupakan unsur masyarakat. Sebagai unsur,
ia menghadapi lingkungan dan sejarah yang dihadapi oleh seluruh
masyarakatnya.
Dengan kata lain, penulisan esai panjang “Membaca ‘kedangkalan’
logika Dr. Ignas Kleden? (bagian XX kupasan keenam dari paragraf tiga
dan empat)” oleh Nurel, adalah aktivitas yang “penting” dalam sejarah
sastra Indonesia. Dikatakan penting, karena memiliki maksud-maksud dan
tujuan-tujuan tertentu. Dan harus dimaklumi sejak awal bahwa,
karya-karya kritik Nurel bukanlah anak-anak rohani yang terlepas dari
konteks di mana ia lahir. Inilah pandangan alternatif di era kontemporer
dewasa ini yang menganggap bahwa sastra atau kritik sastra melampaui
teks dan permainan teks.
Melampaui Kritik Sastra Baru yang Terbaru
Dewasa ini, “kritik sastra baru” menjadi kiblat kritik sastra di mana
pun. Siapa yang keluar dari arus utama, berarti dianggap tidak
menganggap penting trend dan pastilah akan tersisih sebagai anggota
masyarakat sastra (teralienasi). Harap dimaklumi, dalam pengertian
tertentu, salah satu jenis sastra kontemporer ini dapat juga dianggap
sebagai gaya hidup.
Kritik sastra baru ini jelas berbeda dari sekedar aturan estetis Aristoteles dalam poetika. Michael Rifaterre secara gamblang menyebut bahwa sastra (puisi) hanyalah permainan belaka (this is an extreme case but exemplary, for it may tell us much about poetry’s being more of a game than anything else)
(1984: 13-14). Umberto Eco, novelis dan pakar semiotika mengatakan hal
yang sama bahwa sastra adalah kebohongan. Sedangkan teori sastra adalah
teori tentang kebohongan. Persoalan ini jelas melebihi kerumitan tentang
bahasa dan benda yang dibahasakan.
Dalam ungkapan Rifaterre, sastra adalah konstruksi dari hasil eksperimen senam kata-kata indah (a calisthenics of words), suatu kesibukan menenun kata-kata (a verval stting-up exercise).
(Rifaterre, 1984: 13). Pada jalur ini, Roland Barthes merumuskan
hakikat sastra dengan mengesampingkan roman-roman yag bercorak realisme,
khususnya dari abad XIX di Eropa. Malahan ia menaruh minat pada Finnegans Wake.
Ia menganggapnya sebagai hal yang sulit dimengerti dan tidak pernah
bermakna pasti. Dari ketidakpastian inilah, kemudian ia menyimpulkan
bahwa sastra seharusnya tidak punya kepastian akhir. Selama teks terus
dibaca, – dengan demikian pembaca adalah produsen sastra yang baru –
maka akan terus menjadi teks yang baru tanpa henti.
Atas nama obyektifitas, Barthes melanjutkan bahwa tidak mungkin
memulai sejarah sastra yang baru, tanpa meninggalkan hak istimewa
pengarang. Ia berargumen bahwa, “Kita harus memisahkan sastra dari
individu.” (Roland Barthes, On Racine, 1963: 162). Sebaliknya,
kendati Barthes menitikberatkan pada obyektivitas pembaca, di seberang
jalan Rene Wellek mengingatkan agar pembaca pun, tidak perlu hingga
melakukan anarki nilai dan akhirnya menuai skeptisisme yang kering.
Pembicaraan yang impresionistis dan subyektif hendaknya dihindari. (Rene
Wellek, Literary Theory, 1983: 74). H.R. Jauss, Wolfgang Iser,
Norman Holland, Harold Bloom dan Stanley Fish mungkin adalah sederet
kritikus yang sealiran.
Sementara itu, aliran sastra yang berkomitmen pada ikhtiar penemuan makna dalam benak pengarang ada pada karya E.D. Hirsch, Validity in Interpretation
(1976). Dalam tradisi filsafat, mungkin hal ini lebih dekat pada
tradisi fenomenologi. Praktik-praktik kritik sastra dalam bingkai
fenomenologis bisa disimak pada Georges Poulet dan Jean-Pierre Richard.
Di luar itu semua, berkembang aliran dekonstruksi. Nama-nama yang
patut dijadikan sebagai rujukan adalah Jacques Derrida, J. Hillis Miller
dan Paul de Man. Inilah aliran yang paling tidak bisa dipahami,
nilistik dan selalu berlari dalam kubangan teks yang mengalami pembaruan
abadi.
Kendati demikian, di luar hutan rimba aliran kritik sastra yang ada,
ada komentar yang sangat masuk akal dari William E. Cain bahwa,
kontestasi teoritis sastra telah keluar dari jalurnya. Kritik sastra
terlalu lepas menjulang ke langit dalam perdebatan filsafat. (William E.
Cain, the Crisis in Criticism, 1987) Ia tidak pernah lagi tahu
bagaimana cara menikmati karya sastra dengan penghayatan yang
sederhana. Seolah terlupa bahwa di samping teks-teks yang terajut, ada
manusia hidup yang mencicipi masakan, berhubungan seksual dan memiliki
empati kepada sesamanya, bahkan mereka yang religius bisa merasakan
ketenangan batin dari Yang Ilahi.
Penegasan ini mendapatkan pembelaan dari Steven Knapp dan Walter Ben
Michaels. Keduanya mengingatkan bahwa perdebatan filsafat menyangkut
teori sastra, membuat para kritikus sastra tidak lagi bekerja sebagai
seorang kritikus. Dengan kata lain, konstalasi teoritis hanya melalaikan
banyak orang dari upaya berkarya. Padahal, perdebatan teoritis itu,
hanyalah upaya coba-coba belaka, tidak lebih. (W.J.T. Mitchell, ed., Againts Theory, 1985: 30).
Jika pelbagai rimba teoritis sastra itu dipetakan, maka kritik sastra
lawas diwakili oleh aturan estetis Aristoteles. Sementara, kritik
sastra baru, hadir sebelum Roland Barthes. Pasca Barthes, muncullah
tradisi teori sastra yang “seksi” bernama dekonstruksi. Melampaui itu
semua, marilah kita semua kembali pada penghayatan sastra yang paling
tradisional, bebas dan terlepas dari jeratan bias-bias teoritis. Dalam
konteks inilah kritik sastra Nurel menempati ruangnya.
Kritik sastra Nurel terhadap teks-teks Ignas Kleden, di luar dari
substansi filolosofis, teologis, sosio-kultural dan estetika sastra,
sebenarnya hanya ingin menunjukkan bahwa, tradisi dekonstruksionis dan
relativisme interpretasi Kledenian bukanlah puncak gunung. Karya-karya
Kleden, adalah karya yang patut diapresiasi dalam posisi yang sama di
hadapan pengetahuan. Dengan kata lain, Nurel hendak menawarkan sedikit
nilai etis egalitarianisme.
Ia sangat konsekuen terhadap pendiriannya, imannya. Egalitarianisme
membawanya pada aktivitas kreatif yang melampaui upaya-upaya akademik civitas academia.
Nurel sebagai kritikus, adalah pekerja keras yang disiplin, tekun dan
punya etos intelektual yang sudah sangat jarang ditemui. Kesedarajatan
kemanusiaan membawanya pada kesimpulan pentingnya kebebasan intelektual
tanpa tendensi gelar akademik apapun. Dengan pelbagai catatan terhadap
teks-teks Ignas Kleden, ia membuktikan bahwa, “Semua manusia memiliki
derajat yang sama di hadapan pengetahuan. Semua manusia adalah murid di
hadapan ilmu.”
Seperti yang diungkapkan sebelumnya, upaya “melampaui” bukanlah
permainan teks belaka oleh Nurel. Kehendak untuk berbicara, berkampanye,
mencoba membuat jernih persoalan dengan maksud-maksud dan tujuan yang
mulia, keadilan, egalitarianisme dan kemanusiaan, semua itulah yang
membuat karya kritik sastra Nurel adalah karya yang sangat penting dan
berbobot.
Bukan hanya itu, artikulasi kritik Nurel sangat mudah dipahami jika
dibaca secara utuh dan menyeluruh. Dengan bahasa yang manis dan
meliuk-liuk, ia seperti para pujangga zaman kuno, pujangga
kerajaan-kerajaan besar di Jawa. Mengambil pesan moralnya, maka akan
menemukan betapa kritik sastra ini sangat tinggi nilainya. Tidak
sembarang kritikus sastra, – bukan pembuat prosa, novel atau syair –
dapat menciptakan ulasan atas teks sastra tanpa meninggalkan kekhasan
bahasa yang dimilikinya, bahkan secara berani, ia sengaja memainkan
kualitas estetis yang unik.
Secara akademik, dengan sedikit sosiologis, Nurel sebagai kritikus
dapat dikatakan sebagai penulis yang turut menuliskan karyanya pada buku
harian sejarah. Bahwa pembelaannya dalam mengapresiasi Ignas Kleden –
yang menurutnya perlu direvisi dengan kearifan Islam-Jawa – adalah
manifestasi teologisnya dalam memahami agama, kebudayaan dan dunia.
Singkat kata, kritik sastra Nurel adalah ibadah. []
*) Anggota the Reading Group for Social Transformation, PSIF-UMM. Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah.
http://www.facebook.com/notes/hasnan-bachtiar/melampaui-kritik-sastra-baru-yang-terbaru/10151844182965702?ref=notif¬if_t=note_reply
http://sastra-indonesia.com/2017/12/melampaui-kritik-sastra-baru-yang-terbaru/
"Sebuah kata adalah perjuangan dan warna menjadikan nyawanya" (Nurel Javissyarqi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
Adzka Haniina Al Barri
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Akhmad Taufiq
Ali Topan Diantoko
Asap Studio
Asarpin
Awalludin GD Mualif
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Ballads of Too Early Destiny
Berita
Berita Utama
Catatan
Catatan KPM
Chamim Kohari
Chicilia Risca
Christian Zervos
Dami N. Toda
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dimas Arika Mihardja
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Eka Budianta
Esai
Evan Ys
Fahrudin Nasrulloh
Fanani Rahman
Fatah Anshori
Fikri MS
Gema Erika Nugroho
Hadi Napster
Hasnan Bachtiar
Heri Listianto
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Imron Tohari
Inspiring Writer
Inung AS
Iskandar Noe
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kitab Para Malaikat
Komunitas Deo Gratias
Kritik Sastra
Laksmi Shitaresmi
Liza Wahyuninto
Lukisan
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Maman S. Mahayana
Marhalim Zaini
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mh Zaelani Tammaka
Mofik el-abrar
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Nurel Javissyarqi
PDS H.B. Jassin
Pengantar antologi puisi tunggal “Sarang Ruh”
Pengantar KPM
Picasso
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Puisi
Rabindranath Tagore
Rakai Lukman
Raudal Tanjung Banua
Rengga AP
Resensi
Robin Al Kautsar
Sabrank Suparno
Sajak
Sampul Buku
Saut Situmorang
SelaSastra Boenga Ketjil
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sunu Wasono
Surat
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Tarmuzie
Taufiq Wr. Hidayat
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tosa Poetra
Trilogi Kesadaran
Universitas Jember
Wawan Eko Yulianto
Wawan Pinhole
Yona Primadesi
Yuval Noah Harari
Isi Buku Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Isi Kandungan Buku MTJKSCB
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Isi Kandungan Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar