Studi “Serampangan” atas Buku Puisi Takdir Terlalu Dini karya Nurel Javissyarqi *
Mh Zaelani Tammaka
http://sastra-indonesia.com
KETIKA saya diminta untuk mengupas karya-karya puisi Nurel Javissyarqi, seperti yang terlumpul dalam Takdir Terlalu Dini
ini, saya nyaris buta terhadap pengarang ini. Hal itu di antaranya
karena faktor dekade kepengarangan dari yang bersangkutan, yang muncul
pada paruh akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an, di mana pada periode
itu lebih aktif sebagai seorang jurnalis daripada sebagai aktivis
sastra. Tentu saja akan berlainan dengan
kawan-kawan penyair yang aktif menulis pada tahun-tahun paruh akhir
1980-an hingga paruh pertama 1990-an, saya lebih banyak mengenalnya
secara pribadi, setidak-tidaknya lebih intens membaca karya-karyanya,
karena pada waktu itu memang sebagai besar waktu saya banyak tercurahkan
pada dunia sastra.
Tentu saja pengetahuan saya yang minimal ini terhadap diri si penyair,
dan juga karya-karyanya, mau tidak mau sedikit merepotkan saya,
setidak-tidaknya menyulitkan saya harus memulai dari mana ketika harus
berhadapan dengan puisi-puisi tersebut. Namun demikian, ketidakkenalan
saya ini bisa saja menjadi lebih menguntungkan, karena barangkali
penilaian saya akan lebih obyektif, meskipun tidak menutup kemungkinan
justru melahirkan ketersesatan. Bukankah studi strukturalisme dalam
sastra justru mengharuskan adanya pengabaian terhadap latar belakang
pengarang, karena bisa saja kehadirannya justru menjadi “kecap penyedap
rasa” sehingga menenggelamkan nilai obyektif dari karya sastra itu
sendiri.
Karena keminusan pengetahuan saya pada diri pengarang bisa melahirkan
dua kemungkinan yang saling bertolakan – antara berpikir obyektif dan
peluang ketersesatan – ditambah tiadanya kesempatan untuk melakukan
studi yang mendalam, maka tidaklah terlalu salah kalau saya menamakan
pembahasan ini sebagai sebuah “studi serampangan”. Semoga saja, sebagai
“studi serampangan” atas pembacaan yang penuh ketergesa-gesaan ini,
tidaklah melahirkan terlalu jauh “ketersesatan”, namun justru
menghasilkan suatu pembacaan yang “otentik” karena kecilnya
pengaruh-pengaruh di luar teks puisi – seperti biografi pengarang – yang
kehadirannya justru bisa saja mencemari proses penyimpulan.
Fokus pembahasan ini memang saya hindarkan dari upaya penilaian atau
penghakiman, karena tulisan ini memang bukanlah dimaksudkan sebagai
kritik sastra, tetapi lebih upaya penyelaman terhadap lokus budaya si
pengarang yang mau tidak mau sering kali akan mempengaruhi corak
kepengarangan yang bersangkutan. Dari sini diharapkan akan lebih
membimbing pada pemahaman dan penghayatan terhadap puisi- puisi yang
ada, bukan sekadar memperoleh pengetahuan kognitif-struktural tapi lebih
pada pengetahuan afektif-emosional-transendental.
SEORANG penulis (pasti) memiliki “rumah”. Demikian kata Cynthia Ozick, pengarang Yahudi Amerika ketika diwawancarai The New York Time pada awal 1990-an, sebagaimana pernah dikutip R. William Liddle ketika memberi pengantar buku Catatan Pinggir 3 Goenawan Mohammad (1991: VII). Ketika itu, dengan mengutip Shakespeare bahwa kehidupan moral memiliki “a habitation and a name”
– bertempat tinggal dan bernama – , Ozick menegaskan bahwa seorang
penulis mau tidak mau mencerminkan sifat-sifat kebudayaan dan peradaban
tempat ia lahir dan dibesarkan.
Bahkan, dengan nada sedikit provokatif, Ozick memberi kredo, yang barangkali bisa dijadikan panduan bagi seorang sastrawan: “If
you want to live the live that can best bring into a sense of being a
civilized person, then you heve to suize it through your own culture.”
Kalau anda ingin menghayati kehidupan yang akan menyebabkan Anda merasa
menjadi orang beradab, Anda harus merebutnya melalui budaya Anda
sendiri.
Memang, meski setiap orang memiliki “rumah”, yang tidak lain adalah
kebudayaan sendiri, namun tidak semua orang berhasil menemukan
“rumah”-nya tersebut. Butuh perjuangan panjang, dialektika yang tiada
henti, agar seseorang menemukan “rumah”-nya, yang tidak lain adalah jati
dirinya sendiri. Namun demikian, yang tidak dapat dielakkan, pastilah
setiap orang pertama-tama dan pada akhirnya mestilah mereguk peradaban
tempat ia lahir dan dibesarkan.
Lantas di mana “rumah budaya” Nurel Javissyarqi? Dari sedikit
pengetahuan yang saya milki, khususnya setelah saya menemukan nama kunci
Nur Laili Rohmat yang sedikit banyak telah saya kenal, saya mendapatkan
kesan kuat bahwa Nurel pastilah “orang Jawa” yang berasal dan
dibesarkan dari kultur santri. Memang, dari puisi-puisinya yang ada,
termasuk banyaknya nama samaran yang dia pakai, tampaknya dia masih
dalam periode “pengembaraan” dan belum sepenuhnya menemukan “rumah jati
diri”-nya, namun dari potret perjalanan yang ada, alur “pesantren”
tampak lenih dominan.
Kuntowijoyo pernah menyebutkan ada tiga loci kebudayaan Jawa, yaitu keraton, pedesaan dan pesantren dengan unsur wong agung, wong cilik dan santri. Tentu, kalau dilihat dari pendekatan tiga loci model Kuntowijoyo ini, kebudayaan yang dominan yang membentuk pribadi Nurel adalah loci pesantren, meski pada perkembangannya juga bersentuhan kedua loci budaya Jawa yang lain (wong cilik dan wong agung) dan budaya kosmopolitan (Barat dan Timur) khas kelas menengah (terdidik) di negara berkembang, seperti Indonesia ini.
Corak “kesastrapesantrenan” Nurel tampak dari kecenderungan gaya
bertutur yang kuat dalam puisi-puisinya. Ini seakan mendekatkan pada
puisi-puisi lisan pesantren, seperti syair puji-pujian, cara pembacaan
kitab-kitab yang dilagukan, serta suluk yang berisi ajaran-ajaran
tarekat (sufisme) dan sebagainya. Gaya ini juga ditunjukkan pada
kecenderungan pada pola epik daripada lirik. Gaya epik kian terasa
ketika membaca, misalnya “Balada Jala Suta” atau tiga sajak tentang Van
Gogh. Dengan demikian, sajak-sajak Nurel lebih mengesankan sastra lisan
yang ditulis.
Sebagai sastra epik, khususnya epik-tutur, puisi-puisi tampak
mengedepankan “pikiran” daripada “perasaan”, khususnya ketika ia harus
dihadapkan pada kesimpulan-kesimpulan filosofis-ideologis.
Puisi-puisinya tidak lagi cenderung bernyanyi seperti sajak-sajak imajis
yang banyak berkembang di Tanah Air, tetapi lebih mengajak berpikir dan
berfilsafat. Gaya seperti ini barangkali ada pararelismenya – kalau
tidak dikatakan terpengaruh – dengan sajak-sajak Iqbal yang juga
berkecenderungan filosofis-ideologis.
Sekadar contoh pararelisme antara Iqbal dan Nurel tampak pada perbandingan berikut ini. “Kemarajaan
Roma yang megah ada obat penawar/Sekali lagi telah kita turunkan mimpi
Yulius Caesar/Kepada Musolini, anak cucunya, yang bertangan besi/Bangsa
ini amat perkasa menjaga laut Itali/Dalam sejarahnya pernah megah
kemudian jatuh tersungkur tanah” (kutipan “Parlemen Setan” Muhammad Iqbal). Sementara dalam bait XXIX puisi “Nietzsche, Aku Tetap Diet”, Nurel menulis: “Kau
cemooh Socrates, dengan dialektikanya/kau tak sadar dengan
dialektikanya sendiri/seperti serangga dalam kuluman bunga teratai/di
atas kertas ia berdiam diri, sedang telaga-samudra Tuhan.”
NAMUN demikian, kecenderungan epik dan kelisanan Nurel bukannya tidak
ada bahayanya. Yang paling nyata barangkali puisi-puisinya menjadi
sangat “memprosa” dan sangat boros dengan kata-kata. Kata-kata tidak
lagi diperas hingga diperoleh kata-kata yang metaforis, tetapi cenderung
lugas dan apa adanya. Sesuatu yang barangkali bertolakan dengan
prinsip-prinsip puisi modern, apalagi seperti yang dirumuskan oleh
“wali” penyair Indonesia Chairil Anwar yang berkata, “ …tiap kata akan kugali-korek sedalamnya, hingga ke kernwood, ke kernbeeld.” (Chairil Anwar, Kartu Pos, 8 Januari 1944).
Bahkan, dalam tataran ekstrem, puisi-puisi Nurel menjadi terasa
“anti-puitik”. Sebab, kalau hendak konsisten dengan teori-teori puisi
modern, setidak-tidaknya syarat-syarat bahasa puisi yang bersumber dari
tradisi sastra Barat-Modern, jelas sebagian puisi-puisi itu tidak
memenuhi syarat sebagai puisi, setidaknya dianggap puisi yang gagal. Ini
tampak, misalnya, pada sajak “Nyala Api Kehidupan”. Bait-bait dalam
sajak ini lebih kumpulan jargon-jargon kata-kata mutiara, yang dalam hal
tetentu sering kehilangan kepaduan. Bahkan, ada baik-bait yang berisi
sumber-sumber inspirasi penyair, yang ditulis begitu saja dan terkesan
kurang pendalaman.
Kelemahan lain yang tampak adalah penyebutan nama-nama tokoh atau
sumber yang tidak akurat dalam puisi. Ini penting, sebab bila memilih
bentuk ucap puisi epik-filosofis-ideologis seperti Iqbal, akurasi baik
nama maupun sumber menjadi penting. Sebab, kalau tidak, bisa menimbulkan
keraguan bagi pembaca bahwa itu sebagai perwujudan sikap kenes, sok
filsafat, namun sebenarnya belum menyentuh inti filsafat itu sendiri.
Namun demikian, saya tetap merasakan hangatnya nyala semangat
kepenyairan Nurel. Di lihat usianya yang relatif muda (kelahiran Kendal,
Kemlagi, Lamongan, 8 Maret 1967), masih terbentang harapan perkembangan
ke depan. Dan tampaknya kekuatan bentuk pengucapan epik tuturan, yang
ini merupakan salah kekhasan sastra pesantrenan, sangat berpeluang untuk
terus digali dan kelak pasti bisa ikut memperkaya khazanah sastra
Indonesia yang terlanjur Eropa-sentris. Semoga!***
Solo, Wisma Ceremai V-14E, 10 Juni 2001
*) Sekadar bahan diskusi untuk Bedah Buku “Takdir Terlalu Dini” Karya
Nurel Javissyarqi di Taman Budaya Surakarta (TBS), 11 Juni 2001.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2011/10/membaca-sastra-dari-lokus-budaya-sang-pengarang/
"Sebuah kata adalah perjuangan dan warna menjadikan nyawanya" (Nurel Javissyarqi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
Adzka Haniina Al Barri
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Akhmad Taufiq
Ali Topan Diantoko
Asap Studio
Asarpin
Awalludin GD Mualif
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Ballads of Too Early Destiny
Berita
Berita Utama
Catatan
Catatan KPM
Chamim Kohari
Chicilia Risca
Christian Zervos
Dami N. Toda
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dimas Arika Mihardja
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Eka Budianta
Esai
Evan Ys
Fahrudin Nasrulloh
Fanani Rahman
Fatah Anshori
Fikri MS
Gema Erika Nugroho
Hadi Napster
Hasnan Bachtiar
Heri Listianto
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Imron Tohari
Inspiring Writer
Inung AS
Iskandar Noe
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kitab Para Malaikat
Komunitas Deo Gratias
Kritik Sastra
Laksmi Shitaresmi
Liza Wahyuninto
Lukisan
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Maman S. Mahayana
Marhalim Zaini
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mh Zaelani Tammaka
Mofik el-abrar
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Nurel Javissyarqi
PDS H.B. Jassin
Pengantar antologi puisi tunggal “Sarang Ruh”
Pengantar KPM
Picasso
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Puisi
Rabindranath Tagore
Rakai Lukman
Raudal Tanjung Banua
Rengga AP
Resensi
Robin Al Kautsar
Sabrank Suparno
Sajak
Sampul Buku
Saut Situmorang
SelaSastra Boenga Ketjil
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sunu Wasono
Surat
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Tarmuzie
Taufiq Wr. Hidayat
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tosa Poetra
Trilogi Kesadaran
Universitas Jember
Wawan Eko Yulianto
Wawan Pinhole
Yona Primadesi
Yuval Noah Harari
Isi Buku Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Isi Kandungan Buku MTJKSCB
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Isi Kandungan Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar