Nurel Javissyarqi
Sebelum balasan surat ini merambat jauh, maafkan “saudaraku” Dimas Arika Mihardja (DAM) jikalau alunanya terlalu subyektif nantinya, tersebab dalam hal ini aku mengandalkan daya ingat serta semacam men-gayal masa lalu (mengingat yang terlewat), bukan ber-hayal yang bermakna lencungan ke masa depan atau angan-angan.
Lagian kala membaca suatu karya, pun berpapasan si pengarangnya, kerap kali aku berjarak, ini tak lebih demi merawat pandanganku agar timbul keobyektifan selalu, maka di wilayah susastra pula bebidang ilmu pengetahuan lain, aku melihat (membaca, mengamati, meneliti) dengan membawa jiwa ini sebagai orang asing, semisal tersesat di keramaian pasar, lebih jauh gembel yang berlalu lalang, membuat orang-orang muak, namun di kedalamannya berdaya jangkauan selidik sebagai makhluk di luar lingkaran, kadang malah diriku sendiri menjadi sasaran selidik atas dua bola mataku yang nakal, pandangan bathinku, kedua mataku seperti berayun-ayun mengudara dan tiada yang menyaksikannya, aku pun tak bisa melampaui kecurigaannya, demikian aku memasuki kehidupan, sebagai insan bebas tak beridentitas, tepatnya pengelana.
DAM, kita pertama atau paling akhir ketemu di Ngawi, kata paling akhir sebab masih nyantel diingataku, tidak salah DAM berasal dari Jogjakarta yang kini bermukin di Jambi (nama ini mengingatkan sebuah pohon), kata pertama karena lamat-lamat seolah pernah berjumpa di Jakarta, kedua peristiwa tersebut dalam acara sastra, tentu aku hanya melihat, sebab lebih menyukai sebagai subyek yang bisa leluasa membaca daripada dibaca, inilah alasanku kenapa kerap keberatan diminta membaca puisi misalnya. Setidaknya perpustakaan pribadiku sebagai bukti bahwa aku tidak hanya suka sastra, bebidang pengetahuan aku perlakukan sama di mejaku pula tokoh-tokoh yang menghidupkan ruangan belajarku berlainan dunianya, dari mereka aku peroleh banyak dialog pelajaran yang lebih menyadari posisi diri sebagai pengelana, untuk menghindari kefanatikan membuta yang kerap dirasakan oleh para pelaku yang hanya berfokus dalam bidangnya saja.
Dua alasanku paling penting kenapa berjarak dengan dunia sastra, satu telah kusebutkan di atas, selanjutnya agar tiada yang merasa terganggu, entah cemburu, benci atau persaingan berwatak buruk. Mungkin yang kulakukan separas ayu kesenangan, bukan bentuk profesi yang wajib diperjuangkan, lantaran kenyataannya aku menyukai nilai-nilai hikmah, dan kasus aku menggugat SCB sekadar ingin meluruskan pandangan, kalaulah adanya ketidaksesuaian dapat didialogkan lebih dewasa dengan porsi seimbang lewat kesadaran berpijak, bukan hanya luapan lewar apalagi sugesti sulapan. Istilahnya jalanku sejenis bermain tanpa beban guna merawat jiwa ini tetap sumringah, tidak ada gontok-gontokkan kecuali kepada nilai-nilai yang saling diperjuangkan demi menemukan wajah bijak, kesejatian diraih untuk harkat kemanusiaan pengisi bumi keselamatan setanggungjawab.
Aku baca berulang kali surat itu, kata “sahabatku” dari DAM, sungguh menyejukkan hatiku, lalu hadir sekelebat bayangnya sesosok pengajar yang dikaruniahi kelembutan perangai pun lantunan kalimahnya sama, sahaja dalam menembangkan hayat, seolah tiada nada tinggi rendah bagi yang disapanya, andai naik-turun tak lebih sudah diperem lewat kesabaran lama, pribadi demikian laksana banyu (air) pula desir bayu lembut menyusup ke sela-sela batu, atau rimbunan daun-daun meski pohon yang diterpanya menjulang angkuh, tetaplah air pun angin tersebut mencurah dari ketinggian, keayuhan sentuhan, ketampanan bisikan menghadirkan kemungkinan serupa rahmat tuhan tiada berbilang melimpahruah, tentu melalui perawatan, tanggul mengaliri pesawahan, kincir angin, kincir air, menggerakkan energi listrik dalam menjaga lampu-lampu keharmonisan dikala petang pula diselimuti malam seorang, dan siang hari putarannya menyenangkan para penyaksi semua lapisan, setiap kalangan.
Sebenarnya, selepas buku tersebut terbit aku berhadap ada sanggahan balik, hujatan, bantahan, syukur-syukur pembantaian karya, entah dari SCB sendiri yang sudah memegang buku itu sejak di kota Malang, atau dari orang-orang sepaham, para kritikus yang pernah terpukau sepak terjang kepenyairannya. Sehingga diriku lebih leluasa mengudar data selanjutnnya soal puisinya dari para penyair lain sebelumnya atau aku sendiri yang menyikapi tanggapannya juga perihal yang diusung SCB mengenai otonomi daerah yang nantinya aku ambil sedari awal sejarah berdirinya NKRI, agar tidak berfahamkan seolah berasal dari semangat angkatan tahun 1970an. Tapi karena kupasan DAM senada dengan bidikanku, maka aku masih menunggu yang mengendap-endap itu demi belajar, guna sama-sama menyadarinya di ruangan nyata, bukan di tempat imajinasi ataupun pamor bikinan media massa semata.
Mungkin dengan sikapku ini, aku pribadi minimal dapat memahami dan mempercayai keberadaan kesusastraan Indonesia, bukan hanya lewat membaca karya mereka atas keahlian merakit sejarah susastra Tanah Air dengan susastra dunia bersama tokoh-tokohnya, dengan keterlibatan ini menjatuhkan mimpi serta imajinasi, berharap benar-benar sedada jantung kesadaran. Turun gununglah kalau ada merasa di ketinggian, seperti Dimas Arika Mihardja yang ringan mengulurkan tangan wawasannya demi manfaat bersama. Semisal ingataku yang masih dinaungi awan ragu-ragu pada hasil penyelidikan para pengupas puisi SCB dengan membandingkan kekaryaan tokoh Hamzah Fansuri contohnya, agar tak tampak sekadar kata-kata pujian, namun juga menengok sepantulan perbuatan pula corak yang dikembangkan keduanya di hadapan umat, sehingga tidak sebunyi-bunyian ganjil sindiran sastrawan Mochtar Lubis mengenai mantra: “...bim salabim, nah... keluar kelinci dari dalam topi”.
Demikian surat balasanku, jikalau hati ini besok-besoknya masih ingin menuliskan kembali, maafkan mengganggu, matur nuwon sanget...
* pengelana dari bencah tanah Jawa, Lamongan.
Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150253475176469
"Sebuah kata adalah perjuangan dan warna menjadikan nyawanya" (Nurel Javissyarqi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
Adzka Haniina Al Barri
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Akhmad Taufiq
Ali Topan Diantoko
Asap Studio
Asarpin
Awalludin GD Mualif
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Ballads of Too Early Destiny
Berita
Berita Utama
Catatan
Catatan KPM
Chamim Kohari
Chicilia Risca
Christian Zervos
Dami N. Toda
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dimas Arika Mihardja
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Eka Budianta
Esai
Evan Ys
Fahrudin Nasrulloh
Fanani Rahman
Fatah Anshori
Fikri MS
Gema Erika Nugroho
Hadi Napster
Hasnan Bachtiar
Heri Listianto
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Imron Tohari
Inspiring Writer
Inung AS
Iskandar Noe
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kitab Para Malaikat
Komunitas Deo Gratias
Kritik Sastra
Laksmi Shitaresmi
Liza Wahyuninto
Lukisan
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Maman S. Mahayana
Marhalim Zaini
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mh Zaelani Tammaka
Mofik el-abrar
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Nurel Javissyarqi
PDS H.B. Jassin
Pengantar antologi puisi tunggal “Sarang Ruh”
Pengantar KPM
Picasso
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Puisi
Rabindranath Tagore
Rakai Lukman
Raudal Tanjung Banua
Rengga AP
Resensi
Robin Al Kautsar
Sabrank Suparno
Sajak
Sampul Buku
Saut Situmorang
SelaSastra Boenga Ketjil
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sunu Wasono
Surat
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Tarmuzie
Taufiq Wr. Hidayat
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tosa Poetra
Trilogi Kesadaran
Universitas Jember
Wawan Eko Yulianto
Wawan Pinhole
Yona Primadesi
Yuval Noah Harari
Isi Buku Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Isi Kandungan Buku MTJKSCB
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Isi Kandungan Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar