Hudan Hidayat
Republika 10 Feb 2008
Mengkritisi tradisi sastra Indonesia terkini yang ditandai kecenderungan menguatnya politik sastra, penyair Ahmadun meminta kita berdialog kembali kepada teks. Sehingga, yang akan terjadi bukanlah “inilah saya”, tapi ”inilah karya saya.”
Opini penyair Sembahyang Rumputan itu nampak mengandung perbedaan yang tegas. Tapi, kalau kita pikirkan lagi, “inilah saya” dan “inilah karya saya” adalah hal yang niscaya. Karena “saya” berada di dalam “karya saya”. Dan saya yang sedang melakukan politik sastra atau politik tekstual sastra, bisa terjadi, atau tak bisa dilepaskan, dari “inilah karya saya”. Atau “inilah karya saya” bisa terjadi, atau tak bisa dilepaskan, dari “inilah saya”.
Kita sangat beruntung memiliki Tuhan. Karena, model pertama “inilah saya” datang dari-Nya. Yang mewujud ke dalam dialog. Tuhan bisa langsung menciptakan manusia (Adam) tanpa harus mengatakannya. Tetapi toh Dia mengatakannya. Akan Kuciptakan manusia ke dunia, kata-Nya. Kata-kata Tuhan ini adalah model “dialog pertama”. Dan, respon iblis menjadi model “konflik pertama”. Maka dialog dan konflik menjadi paket dari pihak yang berkomunikasi.
Karena itu, mengharapkan dunia sepi dari konflik, hampir mustahil. Sama mustahilnya meminta dunia tanpa dialog. Mematikan dialog terasa tak menghormati ajaran Tuhan, atau menantang Tuhan. Kemanakah kita kalau berpaling dari Tuhan? Tak akan kemana, karena kemana pun kau menghadap di sana wajah-Nya juga.
“Inilah saya” oleh Tuhan mewujud ke dalam “inilah karya-Ku” yakni dunia dan isinya. Kau boleh menggunakannya sesuai ajaran-Ku. Tetapi ingat, karena “saya” ada di situ maka kau harus mengingat-Ku dengan menyebut nama-Ku. Banyak memuji dan memuliakan diri-Ku. Segera terlihat Dia yang ingin “diakui”. Dan Dia yang murka bila “eksistensi-Nya” tak diakui. Maka, Tuhan tak cukup hadir beserta karya-Nya tapi hadir juga beserta diri-Nya.
Untuk alasan semacam ini maka saya berpendapat bahwa seni bukan hanya terdedah dalam kata. Tapi, juga dalam manusia. Sehingga dia menjadi “seni fiksi” dan “seni fakta”. Sehingga, sebuah novel bukan hanya mengeram dalam aksara, tapi juga mengeram dalam (diri dan ucapan) manusia. Sehingga, novel menjadi manusia yang berjalan. Persambungan semacam ini mengisyaratkan sebuah dialektik: keindahan yang berjalan bolak-balik, antara novel dan pengarangnya.
Dialog dan konflik dalam sastra Indonesia kini bisa dipandang sebagai jejak dari seni fiksi dan seni fakta yang sedang memainkan perjalanan bolak-baliknya. Pada titik tertentu, seni fakta itu menjadi seni fiksi. Ia menjadi fiksi yang enak juga dinikmati (umpama gerak mata Saut dan Wowok yang seolah mengedip nakal, atau senyum Goenawan yang nampak misteri dan intelektual). Selalu kita bisa mencari atau menemukan sisi-sisi humor dari dunia yang sedang kita hadapi.
Saya telah menjelaskan filsafat “saya” dan “mengada” dari Sidratil Munthaha. Tempat saya mengembalikan segala dialog dan konflik. Tempat nenek-moyang pengetahuan pertama. Maka saya bisa mengerti bila Sutardji Calzoum Bachri tak cukup menuliskan O Amuk Kapak, tapi juga menulis esai. Bisa dikatakan seluruh buku Isyarat adalah manifestasi dari “inilah saya” dalam perspektif “inilah karya saya”.
Itu adalah upaya yang wajar. Karena politik tekstual semacam itu bukan saja dibutuhkan untuk mengawal “saya-nya” Sutardji yang telah terepsentasi dalam “karya Sutardji”. Tapi, ia adalah perwujudan dari seni fakta yang kini menemukan dirinya ke dalam seni esai. Bahkan seni dalam tubuh Sutardji sendiri.
Maka, bisa dipandang, atau dinyatakan, dialog dan konflik sastra yang diminta oleh penyair Ahmadun Yosi Herfanda untuk dikembalikan kepada teks itu adalah seni fakta dalam bentuk ucapan. Dimana sang sastrawan sedang membela “saya-nya” yang telah terepsentasi dalam “karyanya”. Rupa-rupanya telah terjadi ketidak-adilan. Rupa-rupanya mereka sedang memainkan seni yang mengeram dalam tubuh manusia yang berjalan.
Sastra Indonesia tidak akan mati oleh rendezvous dengan model dialog dan konflik seperti yang kita lihat akhir-akhir ini. Tuhan selalu menyimpan rahasia untuk dunia. Dunia yang mengalami kemajuan melalui perbantahan. Maka banyak-banyaklah bersemedi agar rahasia semua ini bisa terkuak dalam hati.
Di luar alur dialog dan konflik semacam itu, dunia sastra Indonesia kehadiran warganya tanpa kita pernah menyadarinya. Saya menemukan Amien Kamil yang berjalan di kota-kota besar Eropa sendirian saja tanpa pernah berkata-kata. Dari perjalanan panjang itu, tiba-tiba Amien hadir dengan Tamsil Tubuh Terbelah.
Mendadak Amien Kamil mensejajarkan diri dengan Binhad Nurrohmat, Fadjroel Rachman, Zain Hae atau Mardi Luhung di ajang Katulistiwa Literary Awards (KLA), yang meski penuh kontroversi, nyata adanya. Kehadiran yang bukan dibingkai oleh kokok ayam bersahutan/dengan suara adzan, seperti larik puisinya. Amien Kamil hadir dengan berkata: Aku pernah juga terpelanting dan terkesima/di lorong-lorong museum, singgah di toko sex/dan tersihir saksikan karnaval keliling kota.
Sebuah buku puisi telah di tangannya. Buku yang dihias lukisan apik, lukisannya sendiri. Buku yang, astaga, semuanya dikerjakannya sendirian saja. Sehingga, kata Iwan Fals di sampul belakang buku, “Kalo soal Om Amien ane percaye aje deh. Die entu kagak ade matinya, idup di segale cuace. Kalo enggak percaye baca aje ni ‘Tamsil’.”
Saya juga menemukan novel Sunar karya Sigit Susanto. Pengarang ini meliuk dari kesusastraan Indonesia yang angker dengan membuat kanal di dunia maya. Yakni milis Apresiasi Sastra. Seperti yang saya lihat juga di kalangan penyair Komunitas Bunga Matahari yang sering saya dengar puisi-puisinya di Radio Prambors. Sunar yang telah kehilangan ibunya tapi mampu tetap kokoh. Terbaca oleh saya sebagai nyanyian pengarangnya sendiri yang kini bermukim di Swiss. Novel Sunar di tulis tahun 1994, tapi baru di ujung tahun 2007 kita “temukan”.
Bila Amien Kamil berjalan di lorong-lorong kota di Eropa untuk menemukan eksistensinya, maka Nurel Javissyarqi berkelana dari pesantren ke pesantren di ujung-ujung Pulau Jawa untuk menghadirkan Kitab Para Malaikat ke tengah kita. Inilah karya penyair yang gemilang, yang mampu berdiam dalam keheningan sumur kata yang dalam.
Kehadirannya tanpa ancang-ancang membuat kita tak mengetahuinya. Tak mengapa. Kita memang mengalami ledakan sastra yang tiba-tiba di tengah persoalan kritikus sastra dan ruang serta interes media massa.
Kehadiran Nurel bisa diletakkan pada perspektif “nilai kata yang lain, atau bentuk sastra yang lain”. Dan, Nurel hadir tidak hanya untuk diri sendiri. Tapi mengajak orang lain menulis melalui penerbitannya, Pustaka Pujangga, yang telah melahirkan banyak penulis di ujung Jawa Timur. Salah satunya, AS Sumbawi, dengan novel Dunia Kecil, Panggung dan Omong Kosong.
Kitab Para Malaikat sampai membuat Maman S Mahayana berkata, “Temukan Nurel di antara Socrates, Plato, Derrida, Iqbal, Sutardji, Afrizal Malna”. Dan, saya ingin menambahkan: temukan juga Nurel di tengah Sembahyang Rumputan.
Saya kira Maman benar. Kitab Para Malaikat memang mencapai tingkatan itu. Seperti terbaca di salah satu larik “kitab” itu sendiri:
Percikan ini berasal bebijian zaitun bersimpankan minyak/cemerlang tanpa nyala api, laksana insan berkehendak tinggi/melebihi kursi kedudukan para Malaikat Ruhaniyyuun.
"Sebuah kata adalah perjuangan dan warna menjadikan nyawanya" (Nurel Javissyarqi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
Adzka Haniina Al Barri
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Akhmad Taufiq
Ali Topan Diantoko
Asap Studio
Asarpin
Awalludin GD Mualif
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Ballads of Too Early Destiny
Berita
Berita Utama
Catatan
Catatan KPM
Chamim Kohari
Chicilia Risca
Christian Zervos
Dami N. Toda
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dimas Arika Mihardja
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Eka Budianta
Esai
Evan Ys
Fahrudin Nasrulloh
Fanani Rahman
Fatah Anshori
Fikri MS
Gema Erika Nugroho
Hadi Napster
Hasnan Bachtiar
Heri Listianto
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Imron Tohari
Inspiring Writer
Inung AS
Iskandar Noe
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kitab Para Malaikat
Komunitas Deo Gratias
Kritik Sastra
Laksmi Shitaresmi
Liza Wahyuninto
Lukisan
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Maman S. Mahayana
Marhalim Zaini
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mh Zaelani Tammaka
Mofik el-abrar
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Nurel Javissyarqi
PDS H.B. Jassin
Pengantar antologi puisi tunggal “Sarang Ruh”
Pengantar KPM
Picasso
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Puisi
Rabindranath Tagore
Rakai Lukman
Raudal Tanjung Banua
Rengga AP
Resensi
Robin Al Kautsar
Sabrank Suparno
Sajak
Sampul Buku
Saut Situmorang
SelaSastra Boenga Ketjil
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sunu Wasono
Surat
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Tarmuzie
Taufiq Wr. Hidayat
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tosa Poetra
Trilogi Kesadaran
Universitas Jember
Wawan Eko Yulianto
Wawan Pinhole
Yona Primadesi
Yuval Noah Harari
Isi Buku Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Isi Kandungan Buku MTJKSCB
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Isi Kandungan Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar