6.01.2011

Pengantar dalam Menjelajahi Kitab Para Malaikat

Hasnan Bachtiar
Sastra-indonesia.com

Pengantar dalam menjelajahi Kitab Para Malaikat sebagai suatu karya sastra pada umumnya, adalah hendak mengurai apakah suatu teks berpotensi sebagai kebenaran, kendati bukan merupakan teks keagamaan?

Teks merupakan fenomena yang sedemikian kaya dengan ketakterbatasan makna. Hal ini berlaku bagi teks apapun termasuk teks keagamaan yang berdimensi sakralitas (Northrop Frye, The Great Code: the Bible and Literature).
Tetapi pada intinya, teks-teks bahasa sebenarnya adalah sarana untuk mengungkapkan realitas dengan cara tertentu. Kendati demikian, bahasa – termasuk teks bahasa - memiliki fungsi lain selain fungsi umum tersebut, yaitu fungsi komunikatif, yang mengasumsikan adanya hubungan antara pembicara dengan sasaran bicara, dan antara pengirim dan penerima (Roman Jakobson, Linguistics and Poetics: 350).

Menanggapi pengertian tersebut, pada hakikatnya penulis tidak terlalu tergesa dalam menjelajahi ketakterbatasan makna-makna dari ritus-ritus, jejak-jejak, simbol-simbol dan pelbagai penampakan lain yang berserakan dalam ruang kosmos. Belum lagi adanya ceceran-ceceran kebenaran yang tak terjangkau oleh kekuatan intelegensia (Mohammed Arkoun, Islam: to Reform or to Subvert?: 15), sekaligus watak gradualisme interpretasi tanpa batas (Paul Ricoer, The Conflict of Interpretation: 289). Karena itu, kecenderungan penulis lebih kepada, apa yang menjadi persoalan utama dalam bahasa dan teks?

Sejak semula, Aristoteles menungkapkan ketidakmungkinan untuk membawa ide-ide nalar ke dalam keberadaan benda yang nyata. Alih-alih perlambang ontologis suatu benda, namun harus menggunakan namanya sebagai simbol. Konsekuensinya adalah tampil suatu anggapan bahwa apa yang terjadi dalam nama-nama terjadi pula dalam benda.

“It is impossible in a discussion to bring in the actual things discussed: we use their names as symbols instead of them; and therefore we suppose that what follows in the names, follows in the things as well, just as people who calculate suppose in regard to their counters. But the two cases (names and things) are not alike. For names are finite and so is the sum-total of formulae, while things are infinite in number” (Aristoteles, On Sophistical Refutations).

Inilah problem bahasa di satu sisi dan aktualisasi pengertian di sisi lain. Problematika semakin meningkat ketika Heidegger menulis bahwa, para pemikir sejak dahulu selalu memikirkan dan membicarakan suatu hal dan benda yang ada, namun di sisi lain melupakan ”ada” itu sendiri sebagai landasan dan merangkum segalanya (Martin Heidegger, Being and Times). Dari sini Derrida mengungkap kenyataan bahwa manusia tidak mengungkapkan diri dan malah tidak dapat bernalar kecuali melalui bahasa, tradisi kebahasaan dan tradisi teks tertentu. Dengan kata lain, manusia tidak dapat berpikir atau menulis apapun, kecuali merujuk pada tradisi pemikiran tertentu yang mengendap dan dilestarikan dalam sekian banyak teks yang saling berkaitan (Jacques Derrida, Dissemination). Karena itu, berangkat dari pembedaan antara pikiran (noesis) dengan yang dipikirkan (noema) oleh Hegel dan Husserl, suatu struktur interpretasi bukan lagi berpijak pada logos-ucapan-penulisan, tetapi pada logos-penulisan-ucapan (Gayatri Chakravorty Spivak, An Introduction to Jacques Derrida of Gramatology: 133-173).

Menarik mengamati Kitab Para Malaikat sebagai suatu karya monumental Nurel Javissyarqi, ketika dibenturkan dengan pelbagai problematika kebahasaan. Sebagai suatu teks yang otonom, kitab ini mengandung pelbagai nilai kosmos maupun representasi kosmos yang bisa dibaca oleh siapapun. Kondisi teks sebagai sebagai teks beserta kematian pengarangnya merupakan suatu syarat untuk lepas dari segala determinasi ide dan penjara struktur ide pengarangnya, termasuk pasungan pilihan-pilihan teori nalarnya. Pembacaan yang demikian diharapkan mampu menemukan suatu kondisi di mana kemurnian gagasan ditemukan tanpa terjebak dalam ideologi atau mitis yang hadir baik dengan kesengajaan ataupun semena-mena.

Berpijak pada postulat awal bahwa teks merupakan pintu logos dan kosmos sekaligus atau logos dan kosmos merupakan teks atau simbol sekaligus, melampaui dekonstruksi Derrida yang membongkar logosentrisme, bahwa teks-teks atau ayat-ayat dari Kitab Para Malaikat berpretensi memberi petanda terakhir (le signifie dernier). Sesungguhnya suatu petanda transendental, tidak hanya terbatas pada teks-teks keagamaan seperti pada asumsi Arkoun (Arkoun, ’Lecture de la Fatihah), namun juga terdapat pada teks apapun, walau tanpa berjubah sakralitas. Konsekuensinya, Hermes dan Avatar hanyalah seperangkat penunjang kebenaran, demi hakikat kebenaran itu sendiri sebagai ”ada”. Atau analoginya dalam Islam adalah, tinggal mengganti Hermes dengan Jibril dan Avatar dengan Muhammad. Jadi, petanda terakhir niscaya hadir dengan ataupun tanpa teks dan kosmos itulah teks yang sesungguhnya.

Demikianlah pengantar dalam menjelajahi Kitab Para Malaikat, diharapkan adanya ide-ide fenomenologis yang melampaui sekedar ide-ide kritis ini mampu meraup makna-makna yang bergentayangan dalam semesta, yang terungkap dari jejak-jejak yang berlari-lari tanpa henti, tak beraturan dan seringkali tak tertangkap oleh kekuatan intelegensia.

*) Koordinator Studi Linguistik dan Semiotika di Center for Religious and Social Studies (RĂ«SIST) Malang.

http://sastra-indonesia.com/2009/08/pengantar-dalam-menjelajahi-kitab-para-malaikat/

Tidak ada komentar:

Label

A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi Adzka Haniina Al Barri Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Akhmad Taufiq Ali Topan Diantoko Asap Studio Asarpin Awalludin GD Mualif Balada-balada Takdir Terlalu Dini Ballads of Too Early Destiny Berita Berita Utama Catatan Catatan KPM Chamim Kohari Chicilia Risca Christian Zervos Dami N. Toda Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dimas Arika Mihardja Dwi Cipta Dwi Pranoto Eka Budianta Esai Evan Ys Fahrudin Nasrulloh Fanani Rahman Fatah Anshori Fikri MS Gema Erika Nugroho Hadi Napster Hasnan Bachtiar Heri Listianto Herry Lamongan Hudan Hidayat Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Imron Tohari Inspiring Writer Inung AS Iskandar Noe Karya Lukisan: Andry Deblenk Kitab Para Malaikat Komunitas Deo Gratias Kritik Sastra Laksmi Shitaresmi Liza Wahyuninto Lukisan M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Maman S. Mahayana Marhalim Zaini Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mh Zaelani Tammaka Mofik el-abrar Muhammad Rain Muhammad Yasir Noor H. Dee Noval Jubbek Nurel Javissyarqi PDS H.B. Jassin Pengantar antologi puisi tunggal “Sarang Ruh” Pengantar KPM Picasso Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Puisi Rabindranath Tagore Rakai Lukman Raudal Tanjung Banua Rengga AP Resensi Robin Al Kautsar Sabrank Suparno Sajak Sampul Buku Saut Situmorang SelaSastra Boenga Ketjil Self Portrait Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sony Prasetyotomo Sunu Wasono Surat Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Tarmuzie Taufiq Wr. Hidayat Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tosa Poetra Trilogi Kesadaran Universitas Jember Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Yona Primadesi Yuval Noah Harari