Gema Erika Nugroho *
alif.id, 03 Juli 2021
Bukannya kehidupan
tidak mau memberi
Tapi engkau tidak sungguh-
sungguh mencari
Saya awali tulisan ini dengan sebuah kutipan dalam buku Kulya dalam Relung Filsafat (2005) yang ditulis oleh Nurel Javissyarqi.Buku kecil ini bagi saya bukan hanya sekadar rekaman kegelisahan penulisnya menyikapi yang tampak dan tak tampak di luar atau bahkan di dalam diri penulisnya, tetapi juga berisi perasan filsafat dan hikmah yang membentang mulai dari halaman pembuka hingga penutup, yang seolah mengajak pembaca untuk hening mengkhidmati kehidupan.
Ada perspektif unik yang bersenyawa dengan untaian kata dan kalimat sehingga menjelma lautan makna-makna yang sangat menggoda untuk diselami. Inilah alasannya kenapa saya berani menaruh buku ini berjejeran dengan buku-buku legendaris dunia di bagian atas rak-rak kehidupan saya.
Dalam jagat kesusastraan negeri ini, Nurel Javissyarqi mungkin termasuk salah satu penulis yang unik: bagaimana cara dia mengungkapkan ide-idenya dalam bentuk tulisan, kadang seperti lagu instrumental weightless atau Clair de Luna yang membuat kita mudah terlelap, kadang seperti long hook-nya Muhammad Ali dalam ring tinju, kadang sangat praktis dan mudah dibaca, kadang gelap sehingga membuat pembaca mengerutkan alisnya.
Dan yang lebih unik lagi: penulis asal Lamongan ini memiliki keberanian dalam mengkritik siapa saja. Buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia yang ditulisnya adalah contoh nyata bagaimana ia begitu kritis dan tidak takut mengungkapkan apa yang mesti dia ungkapkan.
Nurel Javissyarqi dan tulisan-tulisannya adalah kemerdekaan. Ia adalah sejenis pengarang yang menikmati kebebasannya. Ia tidak menulis untuk mengemis pada penguasa. Ia menari-nari dengan kebebasannya. Tak tergiur oleh isme-isme yang kelihatannya “gagah” sebagai sebuah konsep-konsep namun “pucat” begitu kehidupan menagih kontribusinya yang konkret.
Saya hanya membayangkan Nurel Javissyarqi terkekeh-kekeh di tengah penulis-penulis yang menyandang “nama besar” namun begitu patuh pada konsep-konsep atau isme-isme yang diberhalakan. Pemberhalaan ini sesungguhnya adalah musuh bagi setiap insan yang memiliki hati dan pikiran.
***
Kini dunia seolah sesak oleh manusia-manusia yang bersimpuh di depan “maha-isme”, dan di waktu yang bersamaan kritisismenya tumpul. Begitu mudahnya “percaya” dan mengamini konsep-konsep yang sesungguhnya tak dipahaminya itu.
Saya kemudian mencari keyword yang kira-kira pas di balik meledaknya konsep-konsep besar atau paham-paham yang—semakin dibedah di ruang-ruang akademis—justru semakin gelap dan membingungkan itu. Akhirnya saya menemukan titik terang bahwa di balik isme-isme itu ada sebuah proses pencarian tentang jati diri manusia dan kehidupannya. Mereka mencari, mencari, dan terus mencari.. Bukannya kehidupan/ tidak mau memberi/ Tapi engkau tidak sungguh-sungguh mencari.
Pencarian itulah—dengan kultur dan cara pandang masing-masing individu yang berbeda—menghasilkan solusi-solusi tentang problem kehidupan, mulai dari yang abstrak, rumit, praktis, lebay, dan ngawur. Apakah hasil pencarian itu objektif atau subjektif, benar atau salah, indah atau jelek, manfaat atau madarat, mengagumkan atau membosankan, itu urusan lain. Dalam istilah akademik, untuk sampai pada penilaian-penilaian semacam itu dibutuhkan perdebatan panjang. Sebab semua masih dalam batas perkiraan: Tidakkah kebenaran dan kesalahan/ berangkat dari perkiraan, lalu tidak terbantahkan.. tulis Nurel Javissyarqi.
Merasa “paling keren” memang tak terhindarkan dalam setiap kajian, riset, observasi atau penelitian. Wajar. Apalagi isme-isme yang telah menginspirasi dunia kampus sehingga lahir berton-ton makalah, skripsi, tesis, dan disertasi dari setiap generasi. Terasa paling keren, apalagi, ketika isme-isme itu telah mendarah daging menjadi ideologi dan mazhab. Tambah keren lagi ketika satu sama lain saling sikat untuk menabalkan eksistensinya masing-masing.
***
Apa yang hari ini sudah terlampau kita anggap keren sehingga kita seolah-olah merasa kurang keren karenanya, apalagi merasa paling keren sejagat raya, mungkin ada baiknya kita pertanyakan kembali: isme apakah gerangan yang membuat hati dan pikiran kita mudah kagum? Mudah kagum pada sesuatu yang “hanya kelihatannya” sehingga memengaruhi pikiran dan tindakan kita adalah pandemi kebudayaan yang jauh lebih berbahaya daripada pandemi covid-19.
Pandemi inilah yang membuat psikologi seseorang kadang merasa minder ketika dihadapkan dengan segala hal yang berbau Barat. Seorang teman mengaku lebih percaya diri menukil tokoh-tokoh Barat dalam setiap diskusi. Bahkan ada yang tugas skripsinya sedikit terbengkalai karena begitu idealisnya mencari referensi dari literatur-literatur Barat.
Bukan maksud saya memandang dengan mata penuh curiga terhadap Barat dengan peradabannya yang modern. Tidak. Saya hanya memberikan suatu perspektif bahwa setiap produk pemikiran manusia, secanggih apa pun ia menjelma konsep dan teori, tetaplah akan menabrak keterbatasannya sendiri. Termasuk dalam konteks ini adalah peradaban modern yang selalu dipuja dan dibangga-banggakan.
Mahatma Gandhi berkali-kali mengkritik peradaban modern yang disebutnya justru sebagai biang kerusakan “Bagi Gandhi,” tulis Bikhu Parekh dalam Gandhi: A Very Short Introduction (1997), “setiap peradaban diilhami dan diberi energi oleh konsepsi manusia yang berbeda. Jika konsepsi itu salah, maka ia akan merusak seluruh peradaban dan menjadikannya kekuatan jahat.”
Dalam konteks ini, Gandhi menyoroti peradaban modern. Menurutnya, sebagaimana diuraikan Bikhu Parekh, meskipun peradaban modern memiliki banyak prestasi, namun pada dasarnya cacat ia agresif, imperialis, kejam, eksploitatif, brutal, tidak bahagia, gelisah, dan tanpa arah dan tujuan.
Kenapa Gandhi sampai pada kesimpulan seperti itu? Dalam pandangan Gandhi, peradaban modern mengabaikan jiwa, mengutamakan tubuh, salah memahami sifat dan batasan nalar, salah memahami dan melanggar keseimbangan batin serta hierarki sifat manusia.
Pada akhirnya, dalam hidup ini, yang tampaknya berisi bisa saja kosong; yang kelihatannya sempurna ternyata berlumur lemah. Ribuan teori, konsep, dan isme-isme akan terus lahir seiring zaman bergulir. Namun, tugas kita sebagai manusia tentu bukan men-download begitu saja, apalagi sampai memberhalakannya. Sebab kata Gandhi, “Jika engkau menginginkan sesuatu yang sangat penting dilakukan, engkau tidak boleh hanya memuaskan nalar, engkau juga harus menggerakkan hati. Daya tarik nalar lebih cenderung ke kepala, tetapi penetrasi hati datang dari penderitaan.”
***
*) Penulis adalah pembaca dan penikmat seni.
https://alif.id/read/gen/pandemi-kebudayaan-b238703p/
http://sastra-indonesia.com/2021/07/pandemi-kebudayaan/
"Sebuah kata adalah perjuangan dan warna menjadikan nyawanya" (Nurel Javissyarqi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
Adzka Haniina Al Barri
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Akhmad Taufiq
Ali Topan Diantoko
Asap Studio
Asarpin
Awalludin GD Mualif
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Ballads of Too Early Destiny
Berita
Berita Utama
Catatan
Catatan KPM
Chamim Kohari
Chicilia Risca
Christian Zervos
Dami N. Toda
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dimas Arika Mihardja
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Eka Budianta
Esai
Evan Ys
Fahrudin Nasrulloh
Fanani Rahman
Fatah Anshori
Fikri MS
Gema Erika Nugroho
Hadi Napster
Hasnan Bachtiar
Heri Listianto
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Imron Tohari
Inspiring Writer
Inung AS
Iskandar Noe
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kitab Para Malaikat
Komunitas Deo Gratias
Kritik Sastra
Laksmi Shitaresmi
Liza Wahyuninto
Lukisan
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Maman S. Mahayana
Marhalim Zaini
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mh Zaelani Tammaka
Mofik el-abrar
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Nurel Javissyarqi
PDS H.B. Jassin
Pengantar antologi puisi tunggal “Sarang Ruh”
Pengantar KPM
Picasso
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Puisi
Rabindranath Tagore
Rakai Lukman
Raudal Tanjung Banua
Rengga AP
Resensi
Robin Al Kautsar
Sabrank Suparno
Sajak
Sampul Buku
Saut Situmorang
SelaSastra Boenga Ketjil
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sunu Wasono
Surat
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Tarmuzie
Taufiq Wr. Hidayat
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tosa Poetra
Trilogi Kesadaran
Universitas Jember
Wawan Eko Yulianto
Wawan Pinhole
Yona Primadesi
Yuval Noah Harari
Isi Buku Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Isi Kandungan Buku MTJKSCB
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Isi Kandungan Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar