Imam Nawawi *
Kalamuna Lafzhun Mufidun Kastaqim
wasmun wa fi’lun tsumma harfunil kalim.
Wahiduhu kalimatun wal qawlu ‘amm
wa kilmatin biha kalamun qod yuamm.
Artinya:
Kalam (menurut kami) adalah lafaz yang berfaedah seperti ‘Istaqim’
(Gabungan) Isim, Fi’il, dan Huruf adalah Kalim.
Satu dari Kalim adalah kalimat, dan Qaul itu (bersifat) umum
dan Kilmah terkadang dimaksudkan akan Kalam.
Dari abad ke 13, dua bait atas seorang ahli
bahasa Arab kelahiran Jaen, Spanyol, Ibnu Malik (w. 672 H /22 Februari 1274 M)
dalam pembuka Al-Khulasa al-Alfiyya di atas, menyerupai “meja bundar” yang
tersedia teruntuk Nurel Javissyarqi (NJ) dan Presiden Penyair Indonesia,
Sutardji Calzoum Bachri (SCB). Dua penyair ini semestinya memang terus cekcok
selamanya, tetapi sekaligus dari diri masing-masing harus “legowo,” di hadapan
generasi muda mereka berdua.
Nurel merupakan penyair yang serius mengkritik
Sutardji lantaran kredo puisinya. Kredo Puisi SCB, sebagai suatu spirit yang
berhendak “memanusiakan” kata, serta tidak “mengkeledaikan” kata. Maksudnya,
jangan sampai sebuah kata yang tidak berdosa dan tak tahu apa-apa, disuruh
memikul beban makna ke mana-mana.
Di titik ini saya bersepakat dengan Sutardji,
yakni kata tidak berkewajiban mengusung makna. Alasannya? SCB sedang
membelajari apa yang oleh para sastrawan Adab disebut “Kalimah.” Mazhab
Sutardji adalah aliran Kalimah. Kredonya soal Kalimah.
Kalimah dalam sastra Arab adalah kata dalam
pengertian sastra Indonesia. Kalimah dalam sastra Arab tidak berkewajiban untuk
“Mufid” (mengandung makna yang dapat dimengerti). Andai saja Sutardji, atau
kita semua di sini (para penyair) menyusun huruf-huruf Alfabet dari A hingga ke
Z secara acak, kemudian menganggapnya itu puisi, maka sah kita terima. Itulah
susunan Kalimah.
Dan Nurel juga sah berkeberatan atas pandangan
Sutardji. Puisi-puisi Nurel sekalipun gelap, tetap mengusung makna yang
“Mufid.” Sekalipun pembaca seperti saya gagal mendapatkan makna yang mewakili
pikiran penyair, tetapi saya melakukan penelitian atas diri saya sendiri dengan
medium puisi-puisi Nurel.
Ketika meneliti diri sendiri, saya melihat
diri pribadi mendapati makna-makna dari puisi-puisi Nurel. Semakin ditekuni dan
dihayati, makna tersebut kian jelas. Atau, kadang memperbaharui makna
sebelumnya. Terlepas saya memperoleh makna yang jelas ataupun samar, puisi
Nurel tetaplah bermakna.
Pada titik kebermaknaan inilah, puisi Nurel
berseberangan dengan kredo puisi Sutardji. Nurel Javissyarqi bermazhab “Kalam,”
bukan “Kalimah” seperti kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri. Dan dua aliran
ini, memang harus dikembangkan oleh pendukung masing-masing, ataupun oleh para
penciptanya sendiri.
Saya sebagai pembaca jujur tidak keberatan
dari dua corak tersebut. Saya malah bersepakat dengan keduanya, SCB dan NJ.
Jika ada yang bertanya: apakah Nurel dan Sutardji berbeda? Jawaban saya: iya,
dan tidak. Mereka berbeda secara aliran, serupa dalam medium: ucapan.
“Ucapan” di dalam sastra Arab disebut “Qaul.”
Ibnu Malik menyebut Qaul meliputi Kalimah ataupun Kalam; Qaul dapat menerima
Kredonya Sutardji, sekaligus idenya Nurel Javissyarqi. Sederhananya, Sutardji
menulis puisi, Nurel menulis puisi. Mereka sama-sama menyampaikan Qaul. Qaul
itu kemudian ditangkap oleh pembaca (readers), baik secara positif maupun
negatif, ofensif ataupun defensif. Dalam payung Qaul inilah, Sutarji dengan
Nurel, sepenuhnya serupa.
Pertanyaannya: bagaimana posisi Sutardji dan
Nurel di hadapan “readers” yang tidak punya minat serta perhatian atas mereka
berdua? Kita bersyukur, bilamana mendapati para pembaca Sutardji dan Nurel,
kemudian mereka memberikan respon, baik positif maupun negatif. Lantas,
bagaimana jikalau pembaca ini abai?
Bukankah bagi sebagian orang, isu Covid-19
misalnya, lebih menarik dari puisi-puisi Sutardji dan sajak-sajak Nurel?
Bukankah bagi sebagian orang, kata-kata Jokowi lebih sanggup menyedot perhatian
dibanding puisi SCB dan NJ? Lantas, bagaimana menilai ide-ide Sutardji dan
Nurel di hadapan orang-orang yang acuh tak acuh pada mereka?
Inilah mazhab terakhir, yang di dalam sastra
Adab disebut aliran “Kilmah.” Perhatikan sekali lagi dengan lebih teliti:
Kilmah itu berbeda dari Qaul, berbeda dari Kalimah (plural: Kalim), maupun dari
Kalam. Aliran Kilmah adalah yang mengapresiasi segala-galanya, baik yang
datangnya dari pendukung Sutardji maupun Nurel; penentang Sutardji maupun
Nurel; bahkan orang-orang yang tidak dapat menerima sekaligus menolak (sukut,
diam, abstain) atas kehadiran SCB dan NJ.
Kilmah menurut Ibnu Malik, kadang dimaksudkan
untuk Kalam, kadang juga tidak. Saat tidak dimaksudkan sebagai Kalam, maka
Kilmah dimaksudkan selain Kalam, seperti Kalimah atau Kalim dan Qaul. Para
pendukung aliran Kilmah ini dalam bentuknya paling ekstrim akan menempatkan
setara puisi-puisi Sutarji, puisi-puisi Nurel, maupun ceracau orang-orang yang
sering kita jumpai di jalan-jalan yang berpakaiah lusuh dan berpenampilan
kumal.
Wallahu a’lam bis shawab.
*) Santri Madura. Pecinta Kebudayaan.
Penggemar kopi Madura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar