8.21.2018

Dari Yang Terekam Di Acara Bedah Buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia

: Sebuah Catatan Tengah *
Siwi Dwi Saputro

Ini adalah sebuah catatan yang sengaja saya unggah, di hari ke-9 setelah acara berlangsung pada tanggal 9 April yang lalu. Hal ini bukan tanpa alasan. Ada beberapa alasan yang baik alasan rasional ataupun irrasional. Seperti halnya Nurel yang mengatakan bahwa keberangkatanya ke Jakarta melalui stasiun Babat (dan dia sudah menjelaskan A sampai Z nya mengapa demikian), maka kalau saya boleh meminjam kata-kata Barthes tentang Semiotika** atau kalau saya lebih nyaman dengan mengatakan sebagai Superstition atau tahayul, pilihan saya mengapa saya unggah hari ini adalah:

1. Walau saya hidup di kota Metropolitan, nyatanya saya sering bertemu dengan realitas sehari-hari yang akrab dengan mitos, tahayul, kepercayaan-kepercayaan lain yang sungguh irrasional dibanding dengan rasionalitas Jakarta dan warganya.

2. Hari ini hari Rabu, 18 April. Sembilan hari setelah tanggal 9. Di agama yang saya imani, angka 9 adalah angka yang istimewa karena angka 9 itu berarti Novena. Novena berasal dari bahasa Latin dari kata Novem. Maka saya akrab dengan Doa-Doa Novena. Doa selama sembilan hari berturut-turut.

3. Saya menghindari mengunggah catatan saya hari Selasa kemarin. Nah. Percaya atau tidak, di Jakarta saya sering berbicara dengan sopir taksi, sopir angkot, mandor bangunan dan tukang tagih atau debt colletor. Dari mereka saya tahu, apabila hari Selasa, terasa waktu berjalan lambat dan banyak pekerjaan yang tak terselesaikan. Sopir taksi dan sopir angkot mengeluhkan sepi penumpang, tukang tagih menghindari menagih pada hari Selasa, karena kemungkinan berhasilnya kecil. Dan dari encim-encim*** yang kutemui di sebuah rumah sakit dia memberitahuku sekaligus memberi peringatan keras : “Jangan pulang dari rumah sakit pada hari Selasa dan Sabtu”. Kamu boleh pulang, kalau kamu menginap di rumah sakit karena melahirkan. Mengapa? Karena dipercaya akan berakhir kurang baik. Bisa jadi naik akan balik opname di rumah sakit lagi atau yang paling parah meninggal dunia. Aku percaya dan tak percaya, tapi kalau itu masih bisa dalam posisi tawar aku memilih yang aman. Pernah kawanku opname di rumah sakit, karena sudah sembuh diijinkan pulang. Hari itu hari Selasa. Jumatnya dia opname lagi pindah rumah sakit. Lalu kuberitahukan hal itu, sampai kini dia sehat wal afiat (kejadian 3 tahun lalu). Pernah juga temanku, dia pulang dari rumah sakit hari Selasa. Akhirnya bolak balik ke rumah sakit, dan sekarang sudah almarhum.

Kembali ke acara bedah buku. Nurel sebenarnya sudah bermain dengan Semiotika Barthes ini di bukunya, ketika dia berbicara tentang tanda dan penanda. Untuk merefresh dengan apa yang sudah saya tulis sebelumnya, esensi dari buku Nurel ini (menurut subyektivitas saya) berbicara tentang: Alibi, Credo, Kun Fayakun, Gelar Presiden Penyair, Hari Puisi Indonesia dan Puisi Sumpah Pemuda, serta mandegnya atau setidaknya sampai saat ini belum ada karya fenomenal terbaru dari SCB, walau begitu para pengikut SCB tidak berani mengkritiknya, pun demikian dengan Ignas Kleden. Ada semacam megalomania disini.

Sedikit catatan kecil dari acara bedah buku kemarin, karena moderator tidak menyilakan atau menanyakan nama penanya, maka saya kesulitan mau menuliskan siapa penanya yang tidak saya atau belum saya kenal.

Sihar Ramses Simatupang

Sebagai pembedah, Sihar Ramses memaparkan bahwa buku Nurel ini melalui kajian yang mendalam. Namun tingkat keilmiahannya -esai atau kritik- belum begitu mendalam. Sihar lebih mengatakannya “Nurel mampu menulis sebuah novel.” Di lain pihak Sihar mengatakan mengapa memilih SCB? Dari sekian anak-anak yang ditanyai Sihar, tak ada satupun anak yang menjawab SCB. Dalam hal ini bila ditarik benangnya : SCB tidak terkenal. Mengapa mengulas SCB? Atau jangan-jangan Nurel terlalu mendewakan SCB, sehingga menganggap SCB itu mitos? Dan ketika Nurel sudah semakin dekat dan tak berjarak, jadilah dia menghantam balik SCB. Mengkritisinya. Sihar lebih banyak menyoroti buku ini mengapa tidak masuk melalui kajian sosial politik, kajian ketika masa-masa SCB memulai kariernya. Melalui pergumulannya.

Sunu Wasono

Saya setuju dengan Sunu Wasono yang sangat mengapresiasi karya Nurel ini, walau karya ini masih di wilayah abu-abu. Dianggap Analisa Wacana bukan, dianggap novel juga bukan. Kalau beberapa subyektivitas Nurel (tentang penjelajahan dia kemana-mana dalam proses menulis buku itu dihilangkan) dan diskursus terhadap karya SCB dibangun lebih kuat maka akan menghasilkan rekomendasi yang mantab. Dalam bukunya Nurel juga menuliskan tentang perjumpaannya dengan beberapa orang gila. Nurel menambahkan cerita tutur lisannya pada 2 hari menjelang hari H, bahwa dia sendiri merasa sebagai orang gila. Hal ini mengingatkan saya pada Foucault. Dia mengungkapkan adanya perubahan diskursus mengenai kegilaan pada abad pertengahan dengan abad ke-20. Pada abad pertengahan, ia menyimpulkan bahwa pada masa itu orang gila tidak dianggap berbahaya namun dianggap memiliki kebijaksanaan batiniah sedangkan (mungkin Nurel berada disini?), dan pada abad ke-20 orang gila diperlakukan sebagai orang sakit yang membutuhkan perawatan agar dapat pulih. Dan akhirnya lebih dari sekadar gila, sekarang tahap sudah paling menghawatirkan adalah apa yang disebut schizophrenia. Tentang hal ini lebih lanjut bisa dibaca pada buku Foucault Madness dan Civilization serta Anti Oedipus : Capitalism And Schizophrenia yang ditulis Gilles Deleuze and Felix Guattari. Buku yang diberi kata pengantar oleh Foucault.

Sunu juga menyarankan hendaknya menulis Mitos yang lebih melegenda semisal bahwa Pelopor Sastra di Indonesia adalah Balai Pustaka. Namun ternyata dari bacaan yang dibacanya di PDS, banyak sastra-sastra Melayu yang telah tumbuh dan berkembang sebelum Angkatan Balai Pustaka. Alangkah eloknya kalau Mitos ini yang dibongkar. Didekonstruksi. (Maaf mas Sunu, nama penulisnya siapa? Salman atau Salmon?).

Remi Novaris

Remi mengatakan bahwa kita tak perlulah membongkar mitos-mitos. Biarlah mitos itu hidup di zamannya. Setiap angkatan mempunyai mitosnya sendiri. (Lihat tulisan Sabrank Suparno, Ketua Bidang Sastra di Dewan Kesenian Jombang tentang bedah buku ini disana).

Maman S. Mahayana

Saya lebih terpaku dengan mitos baru atas Sepatu dan Sandal Nurel. Dari Maman S. Mahayana saya mendengar tentang pertanyaan: “Kamu pakai sandal?” ada sesuatu yang terpercik di benak saya dengan ucapan itu. Tidak tahu bagimana jalan ceritanya, pastinya kepulangan Nurel ke Lamongan telah bersepatu. Tentang Sepatu dan Sandal mungkin nanti akan saya tulis di kelak kemudian hari. Baik yang ada hubungannya dengan Nurel atau dalam konteks tentang sepatu dan sandal itu sendiri. Yang pasti Nurel adalah anak yang tersesat dan dengan penuh kekuatan Maman menyarankan Nurel untuk bertobat.

Sofyan RH. Zaid

Ada tiga hal yang ditanyakan Sofyan yaitu tentang apa itu Mitos? Apa itu Revolusi dalam Kritik Sastra? Dan Sofyan menganggap esai Ignas Kleden tak berbahaya. Tidak ada dasar yang kuat mengapa esai itu harus dibahas.

Penanya yang tak kutahu namanya

Menurutnya Puisi bukan mitos. Puisi adalah realitas sesaat. Tidak ada yang salah dengan Kun Fayakun. Semua itu adalah proses perjalanan dari SCB dan seharusnya menunggu karya SCB selanjutnya. (Dari buku Nurel karya SCB selanjutnya belum terdengar. Juga catatan Sabrank, mungkin bisa sedikit memberi gambaran).

Nurel Menjawab

Nurel menjawab berapi-api. Entah karena terlalu bersemangat atau terlalu stress karena tidak bisa membuat asap lokomotif. Yang pasti, di belakang Sofyan menggerundel karena Nurel tidak menjawab pertanyaannya. Dalam menjawab argumentasi Sihar, Nurel memakai landasan yang berbeda. Mungkin terlalu grogi atau entah seharusnya Nurel bisa menjawab dengan baik tentang:

1. Apa definisi mitos menurutnya?
2. Apa itu edisi revolusi kritik? Apanya yang direvolusi? Atau revolusinya dimana?
3. Dalam menjawab tentang pemilihan esai Ignas Kleden baik kiranya kalau Nurel menjawab dengan santai sambil tersenyum (saya jadi ingat kata-kata “Membunuh Sambil Tersenyum.” Hehe… boleh belajar sama saya, eh belajar tersenyum maksudnya) bahwa esai Ignas Kleden adalah jalan untuk membahas esai-esai atau membuat kritik untuk tokoh selanjutnya (dengar gosip selanjutnya H.B. Jassin yang akan dibahas ya? Jadi sesuai dengan tuturan Sunu Wasono, untuk membahas tokoh-tokoh yang lain mengingat ini baru buku pertama).
4. Dalam menjawab mengapa SCB? Mengapa mendekonstruksi SCB? Nurel tidak menghargainya? Nah rupanya jawaban ini menguap. Seharusnya dia ingat dengan apa yang ditulisnya tentang Balada Jala Suta.

Akhirnya, seperti kata Nurel di bukunya bahwa kritik itu semacam saudara tidak muhrim, masih dapat dibatalkan wudhunya. Dan lagi semua yang terjadi di acara bedah buku kemarin boleh dijadikan masukan atau diabaikan. Ini bukan soal ujian skripsi, thesis atau disertasi yang formal, yang kalau apa kata para penguji tidak dipedulikan bisa fatal akibatnya.
_________

*) Catatan Tengah: bukan mau menyaingi GM tapi mengikuti Vetty Vera sedang-sedang saja. Saya berusaha memposisikan seperti apa yang saya rasakan, saya bayangkan das sein bukan das sollen.
**) Menurut Barthes Semiotika adalah keberadaan suatu tanda, dimana tanda tersebut terdapat makna yang tersembunyi dibaliknya dan bukan merupakan tanda itu sendiri. (Saya lampirkan artikel tulisan Chiara Anindya tentang Semiotika dan Taylor Swift).
***) Encim-encim: KBBI ~~ 1 wanita keturunan Cina yang sudah bersuami 2 sapaan (panggilan) terhadap wanita keturunan Cina yang sudah bersuami.

eof
sds.18.4.18

Tidak ada komentar:

Label

A. Qorib Hidayatullah A. Syauqi Sumbawi Adzka Haniina Al Barri Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Akhmad Taufiq Ali Topan Diantoko Asap Studio Asarpin Awalludin GD Mualif Balada-balada Takdir Terlalu Dini Ballads of Too Early Destiny Berita Berita Utama Catatan Catatan KPM Chamim Kohari Chicilia Risca Christian Zervos Dami N. Toda Darju Prasetya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Dimas Arika Mihardja Dwi Cipta Dwi Pranoto Eka Budianta Esai Evan Ys Fahrudin Nasrulloh Fanani Rahman Fatah Anshori Fikri MS Gema Erika Nugroho Hadi Napster Hasnan Bachtiar Heri Listianto Herry Lamongan Hudan Hidayat Ignas Kleden Imam Nawawi Imamuddin SA Imron Tohari Inspiring Writer Inung AS Iskandar Noe Karya Lukisan: Andry Deblenk Kitab Para Malaikat Komunitas Deo Gratias Kritik Sastra Laksmi Shitaresmi Liza Wahyuninto Lukisan M.D. Atmaja Mahmud Jauhari Ali Maman S. Mahayana Marhalim Zaini Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mh Zaelani Tammaka Mofik el-abrar Muhammad Rain Muhammad Yasir Noor H. Dee Noval Jubbek Nurel Javissyarqi PDS H.B. Jassin Pengantar antologi puisi tunggal “Sarang Ruh” Pengantar KPM Picasso Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Puisi Rabindranath Tagore Rakai Lukman Raudal Tanjung Banua Rengga AP Resensi Robin Al Kautsar Sabrank Suparno Sajak Sampul Buku Saut Situmorang SelaSastra Boenga Ketjil Self Portrait Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sony Prasetyotomo Sunu Wasono Surat Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Tarmuzie Taufiq Wr. Hidayat Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tosa Poetra Trilogi Kesadaran Universitas Jember Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Yona Primadesi Yuval Noah Harari