(sebuah catatan dari bincang buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan SCB”)
Noval Jubbek *
sastra-indonesia.com
Ketika beranjak remaja masa-masa SMA saya mulai tertarik menulis, lebih tepatnya merangkai kata-kata untuk sekedar memuji sosok perempuan yang saya suka. Dan serius mencari-cari tulisan indah (puisi) melalui buku-buku pelajaran. Ada beberapa nama yang puisinya sudah berakar (tak saya sadari nyata terdapat di buku tingkatan SD, SMP) salah satunya Sutardji Calzoum Bachri (SCB), yang terus terang rata-rata puisinya tak saya pahami maknanya. Ketika itu pula saya berpikir, apa mungkin puisi yang aneh bisa masuk ke dalam buku pelajaran anak sekolah?
Setelah belakangan saya mulai banyak acuan untuk menanyakan hal itu, lalu meraba-raba bahwa puisi yang tidak kita pahami, bisa jadi sangat bagus dan kuat. Karena jawabannya dari seorang yang saya anggap mengerti, rata-rata mengatakan: “makin sulit puisi kita pahami, kian bagus sekaligus kuat yang terkandung di dalamnya”.
Saya terkaget, ketika ada yang mengatakan Sutardji adalah presiden penyair negeri kita tercinta Indonesia ini. Sejak itu saya menjadi (mencoba) suka membaca karya-karya beliau, meski sebenarnya saya semakin tak paham apa maksud puisinya yang berjenis mantra. Sampai suatu ketika saya mendapatkan buku berjudul “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Coulzom Bachri”. Akan tetapi rasa tak paham saya kian menjadi-jadi terhadap puisi yang diusung Tardji, terutama berkredo mantra.
Tibalah saat bincang buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Coulsom Bachri” karya Nurel Javissyarqi yang diselenggarakan Pelangi Sastra Malang (PSM), bertempat di Kedai Sinau depan pasar buku Jalan Wilis Kota Malang dengan menghadirkan penulisnya dan pembandingnya Wawan Eko Yulianto. Tentu ini sangat menarik bagi saya, yang akan menemukan jawaban dari kegalauan diri saya mengenai puisi Tardji.
Acara pun mulai dimoderatori Denny Mizhar. Dia memberikan kesempatan Wawan Eko Yulianto berbicara terlebih dulu. Wawan menyebutkan bahwa penulis kritik tersebut (Nurel), gaya penulisannya -blogger, tak sama dengan esai-esai yang sering ditulis para pengkritik. Itu membuat Wawan merasa sedikit kesulitan memahami yang harus diperbandingkan. Setelah menyebutkan (hanya) meraba-raba maksud dari penulis, Wawan menjelaskan rabaannya tentang gugatan Nurel terhadap Tardji. Salah satunya mengkritik isi esai Tardji; bahwa Tuhan mencipta dari imajinasi-Nya, adalah sebuah kesembronoan Tardji dalam memaknai salah satu pemikiran Ibnu Arabi.
Ketika Nurel berkesempatan mempertanggungjawabkan karyanya, kami sebagai audiens merasakan semangat luar biasa dari seorang Nurel. Bagaimana dia mengungkapkan secara detail alasan-alasan dia berani mengkritik Tardji yang sudah presiden itu. Menurut Nurel (di antaranya) SCB menjadi hebat karena ada kekuatan “perkoncoan”. Sehingga terciptalah mitos bagi para pemula dalam sastra terutama puisi, bahwa Tardji benar-benar serupa dewa di bidangnya.
Setiap statement dia keluarkan (SCB), menjadi keharusan bagi pemula untuk mengikutinya, jadi konvensi tak dapat diganggu gugat oleh kaum muda. Padahal jika ditelisik lebih dalam, nampak trik-trik “perdukunannya,” semisal Tardji mengangkat teks Sumpah Pemuda sebagai contoh puisi berhasil, yang tentu menurut Nurel -hanyalah pengalihan demi memantapkan “puisi mantra” yang diusungnya.
Pada sesi tanya jawab menambah suasana seru. Terungkap bahwa pertanggungjawaban Tardji harus benar-benar dipertanyakan, terutama dalam dua esainya yang menurut salah seorang penanya Hasnan Bachtiar, dia tak sungguh yakin kalau Tardji memahami Ibnu Arabi -terutama Islam, dimana esainya Tardji mengutip ayat, surat Asy-Syu’ara. Menurut Hasnan, terjadi banyak loncatan ontologis dalam esai tersebut.
Membutuhkan waktu amat panjang untuk membongkar gunung yang terlanjur mencadas. Di akhir acara Bincang Buku Pelangi Sastra Malang [On Stage] # 12 telah usai, Denny Mizhar selaku moderator tak banyak menyimpulkan hasil diskusi. Yang jelas menurut dia masih kurang pantas menyimpulkan sekarang, apakah Nurel telah meruntuhkan mitos Tardji? Karena karya Nurel ini akan beranak-pinak mendewasa, ketika ada yang mengkritiknya secara serius.
Kemudian saya beranggapan; kita membutuhkan seorang Nurel lebih banyak lagi untuk menjadikan Sastra Indonesia tidak sekedar membuntut. Setidaknya ada yang memiliki keberanian merobohkan tembok samar itu, tentunya dengan karya yang bisa dipertanggungjawabkan.
Malang.2011
*Penjual Pulsa dan Anggota Pelangi Sastra Malang.
Sumber: http://www.facebook.com/notes/pelangi-sastra-malang/meruntuhkan-mitos-sutardji/238169576212034
"Sebuah kata adalah perjuangan dan warna menjadikan nyawanya" (Nurel Javissyarqi)
7.05.2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
Adzka Haniina Al Barri
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Akhmad Taufiq
Ali Topan Diantoko
Asap Studio
Asarpin
Awalludin GD Mualif
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Ballads of Too Early Destiny
Berita
Berita Utama
Catatan
Catatan KPM
Chamim Kohari
Chicilia Risca
Christian Zervos
Dami N. Toda
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dimas Arika Mihardja
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Eka Budianta
Esai
Evan Ys
Fahrudin Nasrulloh
Fanani Rahman
Fatah Anshori
Fikri MS
Gema Erika Nugroho
Hadi Napster
Hasnan Bachtiar
Heri Listianto
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Imron Tohari
Inspiring Writer
Inung AS
Iskandar Noe
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kitab Para Malaikat
Komunitas Deo Gratias
Kritik Sastra
Laksmi Shitaresmi
Liza Wahyuninto
Lukisan
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Maman S. Mahayana
Marhalim Zaini
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mh Zaelani Tammaka
Mofik el-abrar
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Nurel Javissyarqi
PDS H.B. Jassin
Pengantar antologi puisi tunggal “Sarang Ruh”
Pengantar KPM
Picasso
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Puisi
Rabindranath Tagore
Rakai Lukman
Raudal Tanjung Banua
Rengga AP
Resensi
Robin Al Kautsar
Sabrank Suparno
Sajak
Sampul Buku
Saut Situmorang
SelaSastra Boenga Ketjil
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sunu Wasono
Surat
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Tarmuzie
Taufiq Wr. Hidayat
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tosa Poetra
Trilogi Kesadaran
Universitas Jember
Wawan Eko Yulianto
Wawan Pinhole
Yona Primadesi
Yuval Noah Harari
Isi Buku Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Isi Kandungan Buku MTJKSCB
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Isi Kandungan Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar