Herry Lamongan
Satu hal kau benar: besar nyali. Dengan besar nyali itu rasa percaya diri berbiak. Proses kreatif dibangun. Alhasil, puluhan buah karyamu kau bukukan. Kau seleksi kau edit, selanjutnya kau terbitkan dan pasarkan sendiri. Bila Chairil Anwar memilih sesanti sekali berarti sudah itu mati. Kau tidak. Kau seakan berkejaran dengan usia, berkarya demikian banyak, apa pun: puisi, esei, atau sekadar ujaran, kemudian kau lepas ke ruang publik berkitab-kitab, sejak “Takdir Terlalu Dini” hingga yang sekarang ini “Kitab Para Malaikat”.
Umumnya para penulis memulai karir dengan mengirimkan karya ke berbagai media massa. Mungkin kau pun pernah. Sesungguhnya, dengan jatuh bangun, gagal/berhasil lewat media massa itu seorang penulis berkompetisi. Tulisan-tulisannya teruji. Dan hanya penulis bernyali besar yang tahan menghadapi seleksi redaksi media massa. Tampaknya, meski nyalimu pun besar, kau tak mau repot jatuh bangun menempuh jalan publikasi media massa. Kau lebih mengandalkan cara “gerilyawan”, datang ke kantong-kantong kesenian, kampus, juga pesantren, kemari kau jajakan sendiri karya-karyamu. Kau publikasikan buku-bukumu secara langsung dari pintu ke pintu.
Tentang antologi puisi “Kitab Para Malaikat” apa yang bisa saya komentari? Kang Maman S. Mahayana sudah begitu jeli dan panjang lebar mengulasnya. Bagi saya kau tinggal mengunyah-mamah ulasan itu, memilah-memilih bagian yang paling pas, lantas menjadikannya semacam daya dorong untuk meningkatkan kualitas karya-karyamu berikutnya, bukan hanya mengejar kuantitas. Ini langkah lanjut setelah sekian puluh buah tanganmu membuku. Setelah belasan diskusi gerilyamu menegur, menginterogasi, bahkan mengritikmu.
Terasa hampir di setiap puisi dalam antologi “Kitab Para Malaikat” ini ada lompatan-lompatan imaji yang saling bentur, yang tampaknya gagal kau padukan menjadi suatu bangunan puisi utuh. Bahkan dalam sebait puisi (dengan tanda angka romawi) yang hanya dua baris pun, terkesan upaya memanjang-manjangkan kalimat yang justru mengaburkan makna larik itu, misal:
Yang setia menyusuri jalan menapaki pantai hakikat, segera tahu
bunga Wijayakusuma merekah, bagi syarat penobatan Ratu Adil (XVIII).
Seperti pula ketika kau gunakan kosa kata bahasa Jawa, kurang mampu menampilkan citraan yang kuat sebagaimana harapanmu. Sebagai misal periksa larik:
…berkepompong senyawa pucuk daun manunggaling bayu semesta bathin (XIV: IX). Atau larik berikut ini:
…Anggur tumpahkan nurani atas cengkeraman gelisah dirasuki wedi … (XVIII: XCV)
Puisi-puisi dalam “Kitab Para Malaikat” kau tulis dari tahun 1998 – 1999. Jika pada tahun 2007 ini baru bisa diterbitkan, berarti sudah mengendap sembilan tahun. Sudah sublim. Dalam pengembaraan panjangmu selama ini “Kitab Para Malaikat” serta, dan kau ajeg merevisinya. Ketika masih ditemukan beberapa kekurangan di sana, itu hal biasa, karena kata-kata bisa juga tak mampu sepenuhnya menampung gagasan. Atau selera penyaji bertolak belakang dengan selera penikmat.
Tapi, engkau benar, tanpa nyali yang besar seseorang sangat sulit menghasilkan karya, apalagi karya sastra. Dengan cara unik dan nekat engkau telah membuktikan hal itu. Jakarta, Yogya, Jember, Tanjungkarang, Malang dan banyak kota lain pun berhasil engkau jadikan sasaran gerilya. Khas gaya Nurel. Apa pun, benar jua ujaran ini: kekuatanmu adalah kelemahanmu, dan kelemahanmu adalah kekuatanmu. Salam!
***
"Sebuah kata adalah perjuangan dan warna menjadikan nyawanya" (Nurel Javissyarqi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
Adzka Haniina Al Barri
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Akhmad Taufiq
Ali Topan Diantoko
Asap Studio
Asarpin
Awalludin GD Mualif
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Ballads of Too Early Destiny
Berita
Berita Utama
Catatan
Catatan KPM
Chamim Kohari
Chicilia Risca
Christian Zervos
Dami N. Toda
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dimas Arika Mihardja
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Eka Budianta
Esai
Evan Ys
Fahrudin Nasrulloh
Fanani Rahman
Fatah Anshori
Fikri MS
Gema Erika Nugroho
Hadi Napster
Hasnan Bachtiar
Heri Listianto
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Imron Tohari
Inspiring Writer
Inung AS
Iskandar Noe
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kitab Para Malaikat
Komunitas Deo Gratias
Kritik Sastra
Laksmi Shitaresmi
Liza Wahyuninto
Lukisan
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Maman S. Mahayana
Marhalim Zaini
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mh Zaelani Tammaka
Mofik el-abrar
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Nurel Javissyarqi
PDS H.B. Jassin
Pengantar antologi puisi tunggal “Sarang Ruh”
Pengantar KPM
Picasso
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Puisi
Rabindranath Tagore
Rakai Lukman
Raudal Tanjung Banua
Rengga AP
Resensi
Robin Al Kautsar
Sabrank Suparno
Sajak
Sampul Buku
Saut Situmorang
SelaSastra Boenga Ketjil
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sunu Wasono
Surat
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Tarmuzie
Taufiq Wr. Hidayat
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tosa Poetra
Trilogi Kesadaran
Universitas Jember
Wawan Eko Yulianto
Wawan Pinhole
Yona Primadesi
Yuval Noah Harari
Isi Buku Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Isi Kandungan Buku MTJKSCB
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Isi Kandungan Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar