Fahrudin Nasrulloh**
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Sarang teknologi telah pecah. Menyebar ke pedalaman renik manusia. Buku, tradisi membaca, dan perjalanan kepengarangan telah dipadatkan jadi arca di kamar facebook. Kemanakah gelombang kesusastraan dan kepengarangan kita sekarang, ketika tentakel teknologi dan gerak perubahan berada di tubir ketidakpastian?
Dunia maya terkini telah menghadirkan produk terbaru yang kita sebut “facebook”. Terkait dengan dunia penulis, tak dapat ditampik, mereka juga menggunakan teknologi tersebut yang berdaya-guna praktis, cepat, dan berbagai kepentingan apa pun bisa digentayangkan di dalamnya secara serius maupun main-main. Inilah bagian dari ekses “guncangan media”, seperti yang disinyalir Afrizal Malna, di mana percepatan bersilang-salip, muncul-tenggelam, dalam aras gigantis yang terus merangsek keseharian manusia. Di sanalah dirayakan segala keterbukaan dan ketakterbatasan itu. Beberapa penulis yang terbilang berduit, pasti memiliki laptop dan modem sendiri untuk ber-internet-an. Malah dapat pula lewat telpon genggam.
Selain facebook yang tak jarang disesaki “status” basi-basi, saya mengamati seorang teman yang nyaris 24 jam nonstop tak beranjak dari laptopnya. Facebook telah dijadikannya sebagai rumah berkarya, mengusung semua karya-karyanya ke dalamnya, mengedit ulang, dan setelah itu menayangkannya dalan “note” ataupun “status”nya. Yang terakhir itu ia gunakan untuk menjalin sapa-kenal dan sambung-rasa dengan teman baru maupun teman lama. Saling bercengkerama, mengomentari, bahkan tak jarang dari teman pendatang “asing” nylonong masuk dan terjadilah percekcokan sengit soal apa saja ihwal politik, puisi, kesenian, pilkada, gigolo di Bali, hingga lomba karikatur Nabi Muhammad. Ini cerita kecil soal seorang penyair yang merasa karya-karyanya tertampik di koran. Ada dendam sampai tak bertekad lagi mengirim. Tapi semangat menulisnya tak pernah padam.
Ia terus bergerak dari batin terdalamnya yang kemudian menjadikan dirinya serpihan daun yang terapung-apung di belantara impiannya. Coba memaknai sesuatu yang tercecer dan mengendap lama dalam tempurung kepala dan daki yang mengerak di tapak kaki. Impian-impian yang diangankan, dalam keseharian yang pedat yang tak bosan-bosan menguntitnya, membentur apa saja yang bahkan kosong tapi kuasa mementalkan. Dan di tembok lapuk itu dirinya seolah membikin bundas batok kepalanya sendiri dengan seabrek kejayaan pengarang dan pemikir masa silam. Tapi tak ia perdulikan. Cinta atas nama puisi yang bergayut dalam dirinya menjelma menjadi hiruk-pikuk was-was, sakwasangka, dan kesumat penuh nafsu tersembunyi. Mengisi apa saja yang di tangkapnya dari jalan-jalan panjang yang pernah dilewatinya. Di lorong itulah ia, melimbur diri dalam dunia maya. Ada yang menyergapnya tiba-tiba di balik layar monitor, liang mause, dan pekatnya flashdisk.
Ia terus menulis, menulis apa saja untuk menebus apa saja yang pernah melongsor dari dirinya. Mengelupaskan diri dalam “status” facebook, hingga yang menguap pengap dari mulut para penyapa harus dipelototi dan “dijempoli”. Tapi dari “entah” itu, ia setidaknya ingin dianggap “ada”. “Ada” yang baginya penting ketimbang merasa sunyi sendiri di pelosok kampungnya. Hidup semakin kompleks. Kebutuhan sehari-hari makin mengimpit. Menulis adalah jalan yang diteguhkan pengalaman panjang sehingga menjadi sejenis iman. Tiba-tiba terasa ada yang menghentak, menelikung diam-diam, dari balik dinding keserbagamangan itu. Ia seperti biksu yang linglung, yang mencari makna bahwa keraguan yang dirawat baik akan menemukan lorong cahayanya sendiri.
Tiap sebatang rokok yang tandas, keringatnya mengudara dikesiur malam dan berakhir di perut asbak yang menggunung latu dan puntung. Kini menulis bukan perkara keramat dan wingit, semua orang dapat merayakan perkembangan teknologi yang dengan begitu murahnya terhadir di depan mata. Dalam fitur-fitur facebook itulah, ia jadikan sebagai medan bertapa. Khayalan cerita pendekar-pendekaran jaman dahulu mengisi imajinasinya. Laku bersyair, baginya, seperti lelaku si pendekar kelana yang menyerap ilmu dari guru ke guru demi menjadi pendekar pilih tanding.
Suatu hari, pada Selasa, 27 April 2010, ia menulis sebuah tulisan berjudul “Para Amatir yang Pemberani”. Tulisan ini agak panjang. Tentang energi menulis dan proses mengimaninya yang harus diperjuangkan. Ia menulisnya langsung di laptopnya dengan seberkas gairah yang barangkali amat jarang didapatinya di luar momen itu. Beberapa kalimat sempat saya rangkum berikut ini:
Inilah kesederhanaan hidup. Semua boleh menulis, asal tak bertolakan dengan hati nurani. Kegunaan nalar kalbu dijalankan. Tak mengganggu pekerjaan lain, yang telah digeluti. Dari pada bengong, menangis tanpa juntrung. Ambillah selembar kertas demi kesejatian nafas. Sebaiknya kita percepat pemberangkatan ini. Sekali-kali jangan mengemis, kita bisa bikin sejarah. Sebenarnya kita punya nyawa rangkap tapi wujudnya berbeda. Kelemahan kita hanyalah keraguan. Jangan ragu hidup sekali dan mati itu pasti. Bukankah keyakinan bakal mempercepat segalanya? Peristiwa pecahnya sarang nalar hampir mendekati turunnya ilmu laduni. Kurangi tidur sedapat mungkin, membasuh muka berkali-kali. Kasih mata ini sedikit garam kalau berani. Atau incipi asam Jawa biar jika diserang kantuk membuta, bisa mengelak. Terus membaca, sebab alam kantuk sanggup menancapkan ingatan sedalam sukma. Jangan sering pakai bantal, itu mengurangi dinaya ingatan. Semakin mengalami, kian kuat menahan apa saja. Singsingkan rasa malu, sebab separuh kesalahan dihasilkan dari situ. Alangkah indah dianggap remeh. Itu malah jadi godam kita suatu hari. Lewat ini darah kebodohan menggejolak. Tanah kehadiran butuhkan pengorbanan, darah juang tumbal semangat. Yang menyerahkan nyawa demi ilmu, merdekalah pemahamannya.
Penulis yang saya sebut itu adalah Nurel Javissyarqi, penyair dan bos penerbit Pustaka Pujangga dari Lamongan. Dari catatannya di atas jelas menyiratkan percikan dari endapan catatan perjalanannya dengan taburan tips menulis, agak filsafati, adventourus, dan sedikit magis. Setelah itu, pada 16 Mei 2010, ia menulis esai yang cukup menarik dengan judul “Untuk Bayi-bayi Besar Sastra Indonesia” yang didiskusikan dalam acara Geladak Sastra yang dihelat Komunitas Lembah Pring Jombang. Sedang pembicara lain, Bandung Mawardi dari Kabut Institut Solo, yang terbilang tulisannya kerap dimuat koran, menjadi kontras dengan pemikiran dan pengalaman Nurel. Yang satu bertapa-karya di facebook, dan yang satunya adalah “pengutuk facebook” yang telah merajai koran dengan esai-esainya.
Mencermati media facebook, juga media elektronik lain, sebagai “medan lintas batas” di mana “demokratisasi sastra” seperti yang disebut-sebut Afrizal Malna bergerak dengan percepatan dan ketakterdugaan yang berseliweran menerobosi keseharian penggunanya. Dan Nurel, setelah karya-karyanya tak digubris koran, ia memasuki lelorong facebook sebagai dendam skizofrenik yang “tak bertuan”.
Dalam arti lain, media koran sebagai sosialisasi karya para penulis, tidaklah menampung semua penulis. Ada ruang sistemik-prosedural yang berlaku dengan rambu-rambu tertentu di sana. Dan pertarungan di dalamnya pada akhirnya adalah bagi pemenang dan yang diberuntungkan. Koran dengan sendirinya telah benar-benar menjadi rezim sastra dan muasal dari segala proses itu adalah kegetolan mengirim karya, selebihnya seleksi, koneksi, dan jaringan personal-emosional yang terjaga baik antara penulis dan redaktur. Sejarah kecil “sastra koran” pada awal 2000-an yang pernah ditulis oleh kritikus Katrin Bandel dalam peta kesusastraan tanah air masih tetap menghangat diperbincangkan.
Dengan menjamurnya facebook dengan segala nilai positif-negatifnya, apakah kita juga melihat ihwal yang masih tersamar bahwa lewat sanakah kesusastraan Indonesia akan menilaskan jejak di kemudian hari? Tentu saja sastra koran adalah sisi lain yang masih kokoh tak tertandingi. Tapi penulis seperti Nurel dan lainnya, juga yang muda-muda dan yang tua-tua namun tetap bergairah, menjadikan facebook sebagai perlintasan jaringan informasi kekaryaan dan event kesenian yang sebenarnya jika diamati dengan cermat sungguh luar biasa perkembangannya. Itu salah satu pengaruh positifnya. Ekses lain mungkin dapat dibayangkan: penulis jadi malas riset berkarya, ajang gosip, tebar cerca dan fitnah, dan berpotensi ambeyen-liver-insomnia. Selain itu, banyak kita jumpai pengarang yang melahirkan karya lewat facebook, seperti Yusron Aminullah, adik Emha Ainun Nadjib, dan lain-lain.
Para penulis dan impian-impiannya mengalirkan karyanya dalam arus besar teknologi dan pergeseran gigantik yang tak tertampik itu. Ini seperti ramalan Jorge Luis Borges: “Di abad mendatang, ketika orang meneliti kesusastraan abad ini, nama-nama yang dikenal sebagai para sastrawan besar bakal berbeda, para pengarang tersembunyi bakal bermunculan, para pemenang Nobel Sastra akan dilupakan. Saya berharap, saya akan dilupakan…”
Nurel dan penulis lainnya yang seperjalanan, tentu mengeram imajinasi puitik demikian dan di batin terdalam mereka terselip tekad untuk mendapatkan tempat selain di koran demi menggores sejarah masing-masing. Dan inikah sejenis tanda era kesusastraan kaum facebookiyah?
—–
**) Bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang
*) dimuat di buletin [sastra] Pawon, edisi30 tahunIII, 2010
"Sebuah kata adalah perjuangan dan warna menjadikan nyawanya" (Nurel Javissyarqi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A. Qorib Hidayatullah
A. Syauqi Sumbawi
Adzka Haniina Al Barri
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Akhmad Taufiq
Ali Topan Diantoko
Asap Studio
Asarpin
Awalludin GD Mualif
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Ballads of Too Early Destiny
Berita
Berita Utama
Catatan
Catatan KPM
Chamim Kohari
Chicilia Risca
Christian Zervos
Dami N. Toda
Darju Prasetya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Dimas Arika Mihardja
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Eka Budianta
Esai
Evan Ys
Fahrudin Nasrulloh
Fanani Rahman
Fatah Anshori
Fikri MS
Gema Erika Nugroho
Hadi Napster
Hasnan Bachtiar
Heri Listianto
Herry Lamongan
Hudan Hidayat
Ignas Kleden
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Imron Tohari
Inspiring Writer
Inung AS
Iskandar Noe
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kitab Para Malaikat
Komunitas Deo Gratias
Kritik Sastra
Laksmi Shitaresmi
Liza Wahyuninto
Lukisan
M.D. Atmaja
Mahmud Jauhari Ali
Maman S. Mahayana
Marhalim Zaini
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mh Zaelani Tammaka
Mofik el-abrar
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Nurel Javissyarqi
PDS H.B. Jassin
Pengantar antologi puisi tunggal “Sarang Ruh”
Pengantar KPM
Picasso
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Puisi
Rabindranath Tagore
Rakai Lukman
Raudal Tanjung Banua
Rengga AP
Resensi
Robin Al Kautsar
Sabrank Suparno
Sajak
Sampul Buku
Saut Situmorang
SelaSastra Boenga Ketjil
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sony Prasetyotomo
Sunu Wasono
Surat
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Tarmuzie
Taufiq Wr. Hidayat
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tosa Poetra
Trilogi Kesadaran
Universitas Jember
Wawan Eko Yulianto
Wawan Pinhole
Yona Primadesi
Yuval Noah Harari
Isi Buku Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Isi Kandungan Buku MTJKSCB
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Isi Kandungan Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar